Pemilu 2024 telah usai. Apapun hasil akhirnya, pemilu 2024 telah memberikan sinyal atas kebangkitan budaya politik yang baru. Fenomena yang mengejutkan dan membingungkan bagi banyak orang. Manusia memang ditakdirkan hidup di tengah arus zaman. Karenanya, merefleksikan tanda-tanda zaman dan mengantisipasinya merupakan kewajiban yang harus dipikul manusia setiap generasi.
Awal tahun 2000, filsuf Perancis kelahiran Aljazair, Jaques Ranciere, telah menyampaikan kecenderungan baru politik masa kini. Pemikirannya dituangkan dalam bukunya yang berjudul "The Politics of Aesthetics". Ranciere berpendapat bahwa demokrasi pada masa kini telah memberikan porsi yang terlalu besar pada kedaulatan individu, yang berakibat melunturkan kohesi sosial sebagai tulang punggung bangsa. Kebebasan individu yang terlalu besar, menyuburkan anarkisme yang berbuah ketegangan sosial pada proses demokrasi itu sendiri. Banyaknya demokrasi dan kebebasan, justru "mengerdilkan" manusia. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, menjadi tertindas karena tidak mampu lagi memahami situasinya akibat kompleksitas dunia politik masa kini. Rakyat yang kebingungan, membangkitkan kecenderungan sikap estetis.
Istilah estetis, sering digunakan untuk membedakannya dengan dua sikap lainnya: etis dan religius. Orang yang bersikap estetis mendasarkan pilihan dan tindakannya pada "apa yang disukai" belaka, sikap etis pada "apa yang dipandang baik/benar/harus dilakukan", dan sikap religius pada "apa yang dikehendaki Tuhan/ajaran imannya". Kecenderungan global menguatnya sikap estetis, juga ditunjukkan Ranciere lewat fenomena transformasi seni. Pada awalnya seni ditujukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, seperti tari-tarian untuk menyambut tamu/acara khusus dan lain-lain. Namun, saat ini seni telah jauh melampaui batasan awalnya dengan tujuan baru: memberi pengalaman yang tunggal, unik, khas, saat individu berhadapan dengannya. Segala dapat dijadikan sebagai karya seni, asal mampu memuaskan rasa estetis peminatnya.
Bangkitnya mayoritas estetis pada demokrasi, mengubah tatanan demokrasi itu sendiri. Pemilihan pemimpin yang sebelumnya didasari nilai-nilai etis seperti visi, misi, rekam jejak, kriteria, dan lain-lain mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, mayoritas mulai memilih berdasarkan "apa yang disukainya", atau "apa yang cocok dengan kepentinganku" semata. Akibatnya, cara kampanye berubah dengan menampilkan kartun-kartun, gestur, gimmick, joget, dan diksi-diksi yang disukai mayoritas. Bahkan mungkin itu tidak berhubungan langsung dengan kepemimpinan demokrasi atau ketatanegaraan. Hal semacam ini telah terjadi di banyak negara dunia akhir-akhir ini, Filipina adalah salah satu contohnya. Calon cukup berkampanye dengan berjoget, menebar senyum, dan kemudian memenangkan pemilu.
Munculnya budaya baru politik ini menggeser patron proses perpolitikan sebelumnya. Konsultan politik memainkan peran penting dalam hal ini. Pemain politik yang memahami arus baru global ini, mampu menggunakannya untuk memobilisasi mayoritas. Sebaliknya, pemain politik yang kurang menyadari, salah menetapkan strategi dan membuatnya ditinggalkan pemilih. Retorika kuno yang keras, kasar, mem-bully lawan, dan lain-lain, walaupun mengandung kebenaran, sudah tidak mampu lagi memuaskan rasa estetika mayoritas. Mem-bully figur yang disukai, terlepas benar atau salah, jelas tidak memenuhi rasa estetis yang menyukainya. Ingat! Sikap estetis tidak lagi membutuhkan penalaran baik/buruk atau benar/salah, melainkan yang penting suka. Penggunaan artis, pelawak, pertunjukan, menjadi sarana yang efektif untuk memenuhi rasa estetis pendukung. Seakan-akan politik telah berubah menjadi anti kebenaran.
Ekses lain dari bangkitnya sikap estetis adalah "matinya kepakaran". Guru besar Harvard, Thomas M. Nichols, dalam bukunya yang berjudul "The Death of Expertise" tahun 2017, telah membahas dalam hal ini. Nichols berpendapat bahwa kebingungan atas kompleksitas dunia masa kini, mendorong manusia untuk makin bersikap estetis dan berfokus pada ego belaka. Ini termanifestasi pada menguatnya kecenderungan budaya "sok tahu, keras kepala, dan mudah marah". Sikap yang semakin kental dalam dunia perpolitikan masa kini. Masukan dari para tokoh akademisi, pakar, dan para tokoh agama, makin kurang dihiraukan. Mayoritas estetis yang cenderung sok tahu, tidak lagi membutuhkan masukan lain dalam menentukan pilihan. Mereka cukup dengan "apa yang disukai". Mereka kemudian mencari pembenaran atas pilihannya dengan segala cara. Celakanya, banjir informasi media sosial selalu menyediakan bahan berlimpah untuk pembenaran segala. Akibatnya, perdebatan karena beda pilihan menjadi semakin panas. Seakan menjadi "perdebatan antar para pemilik kebenaran sempurna". Keluarga bahkan bisa pecah karena beda pilihan.
Apakah sikap estetis baik bagi kehidupan manusia? Berbagai filsuf dan teolog sepanjang zaman telah merefleksikan sikap estetis sebagai sikap yang negatif. Filsuf dan teolog eksistensial terkenal asal Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855), menganggap sikap estetis hanya akan membawa kehidupan manusia pada kekosongan nilai, yang tanpa makna. Kehidupan manusia yang memilih sikap estetis hanya akan didikte oleh hasrat sesaat belaka, yang sia-sia. Pembahasan mendalam tentang ini telah dimuat dalam buku Kierkegaard yang berjudul "Either/Or". Apakah sikap estetis baik bagi demokrasi? Demokrasi sejatinya mengandalkan kemampuan rakyat, selaku pemegang kedaulatan tertinggi, untuk memilih yang terbaik bagi negaranya. Sayangnya, sikap estetis justru mendorong rakyat hanya memilih secara sempit "apa yang ia sukai", bukan "yang terbaik bagi negaranya". Ada perbedaan mendasar di antara kedua pilihan ini, terutama dalam kaitan tanggung jawab untuk membawa negara pada kebaikan bersama (bonum commune), melampaui sekadar "kepentingan/kesukaan saya". Dengan demikian, bangkitnya budaya estetis zaman ini, adalah berdampak negatif dan merupakan tantangan serius zaman ini. Politik estetis adalah politik yang sedang "sakit" dan melemahkan kemampuan demokrasi untuk menghasilkan kebaikan bagi negara.
Bagaimana mengantisipasi budaya estetis? Budaya estetis dapat diatasi dengan membangkitkan budaya lawannya, yaitu budaya etis dan budaya religius. Budaya etis mensyaratkan seseorang untuk memikirkan dengan penuh tanggung jawab apa yang baik/benar atau apa yang buruk/salah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya religius, lebih dalam lagi, merenungkan kehendak Yang Maha Kuasa dalam setiap tindakan. Membangun sebuah budaya membutuhkan semua sumber daya yang ada dan yang utama perlu dimulai dari diri sendiri. Etika dan sikap religius sejatinya adalah sarana untuk membangun hidup, bukan untuk menghakimi yang lain. Masyarakat, pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga agama perlu bergandeng tangan untuk membangun kesadaran masyarakat akan dampak negatif budaya estetis. Evaluasi atas pemilu 2024, harus menjadi titik tolak untuk membangun yang lebih baik lagi ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H