Tahun politik masih identik diwarnai dengan praktik pelanggaran netralitas ASN. Padahal, Indonesia yang mengaklamasikan dirinya sebagai negara hukum tidak kurangnya memagari para aparatur pemerintahannya dari praktik haram politik praktis ASN dengan berbagai regulasi. Sederet ketentuan menyangkut netralitas ASN, di antaranya diatur dalam ketentuan pemilu, pilkada, maupun dalam sistem manajemen ASN.
Menghadapi pesta demokrasi pada 14 Februari 2024, pemerintah juga menerbitkan Keputusan Bersama Menpan-RB, Mendagri, BKN, KASN, dan Bawaslu terkait Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN. Beleid tersebut cukup jelas memuat siapa dan bagaimana upaya pembinaan dan pengawasan netralitas ASN harus dilakukan termasuk memuat jenis aktivitas yang dikategorikan tidak netral disertai sanksi disiplin dan etik beserta instrumen penguat netralitas lainnya seperti ikrar dan pakta integritas.
Sampai dengan 16 Januari 2024, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menerima 292 aduan pelanggaran netralitas dengan 135 ASN yang terbukti melanggar dan dijatuhi sanksi. Bentuk pelanggarannya mulai dari memposting, comment, share, like, follow akun/grup pemenangan paslon, menghadiri kampanye, hingga memiliki kartu keanggotaan partai politik.
Ketua KASN memprediksi jumlah pelanggaran netralitas ASN pada pemilu mendatang dapat mencapai 10.000 kasus. Hal tersebut berdasarkan perhitungan matematis pada pilkada 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah dan menimbulkan sekitar 2.304 kasus. Sementara pada pesta demokrasi mendatang ada pilpres, pileg, dan pilkada serentak yang memiliki potensi pelanggaran sampai lima kali jumlah pelanggaran yang terjadi pada pilkada 2020.
Diskursus nir-netralitas ASN memang bukan hal baru dalam runtunan sejarah bangsa Indonesia. Di masa pemerintahan orde baru dikenal slogan monoloyalitas yang kemudian diwujudkan dengan ikut bergabungnya birokrasi dalam proses politik melalui pemilu untuk menduduki jabatan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Era reformasi saat ini, politisasi birokrasi dalam bentuk pelibatan ASN masih terus berlangsung bahkan berlangsung secara vulgar.
Keterlibatan ASN dalam momentum suksesi kepemimpinan publik memang memiliki nilai jual yang tinggi bagi para politikus. ASN secara kuantitas memiliki jumlah yang banyak dan memiliki pengaruh kuat bagi keluarga, kolega, dan masyarakatnya.
Profesi ASN dianggap terpandang sehingga paslon yang dijagokan ASN biasanya menjadi referensi politik bagi masyarakat. ASN juga dipandang sebagai komunitas dengan tingkat kompetensi dan loyalitas tinggi serta memiliki jaringan yang luas sehingga layak diberdayakan seperti penyusunan program kerja dan materi kampanye para paslon.
Selain itu, ASN merupakan pelaksana kebijakan dan pemegang kewenangan baik dalam penguasaan data dan informasi, pengelola keuangan negara maupun sumber daya lain yang ada di dalam birokrasi pemerintahan. ASN dipercaya mempermudah gerak paslon pada pelaksanaan kampanye melalui penggunaan fasilitas negara seperti akomodasi, transportasi, dan lainnya.
ASN secara sukarela maupun terpaksa harus memberikan dukungan kepada paslon. Para elite politik (terlebih kepala daerah dan petahana) akan memainkan kekuasaannya untuk mengintervensi ASN agar berkontribusi mendongkrak elektabilitas politik. Jika netral atau berpihak pada paslon lain, dengan mudahnya ASN tersebut dimutasi atau di-non-job-kan.
Intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit dihindarkan. Salah satu pemantiknya adalah masih eksisnya primordialisme politik yang termanifestasi dalam politik dinasti, hubungan kekerabatan, dan politik balas budi. Selain itu ada juga faktor vested interest ASN di mana kepentingan jalur pintas ASN mengamankan atau meningkatkan karier/jabatan seorang ASN.