Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ali Murtadlo

Dosen IAIN Ponorogo

Catatan Akhir Bulan April 2013: Sebuah Refleksi Kematian

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi kebanyakan orang, pergantian bulan tak menjadi perhatian serius. Orang yang tak peduli dengan makna waktu, biasanya hanya mengeluh karena sudah masuk tanggal tua, lantaran keuangan menipis. Dan saatnya menunggu tanggal muda untuk mendapat bayaran. Bagi pekerja/buruh menerima gaji, bagi PNS menerima gaji + tunjangan, sedangkanbagi guru tanggal muda berarti waktu mengambil gaji + uang sertifikasi (bagi yang sudah bersertifikasi). Namun bagi mahasiswa awal bulan berarti waktu untuk membayar uang kost-kostan atau untuk membayar hutang. Seolah-olah pergantian bulan adalah pergantian untuk memikirkan keuangan.

Untuk membedakan dengan kebanyakan orang, di akhir bulan ini saya ingin merefeleksikan diri. Ingin berintrospeksi diri, menimbang-nimbang semua pekerjaan yang telah saya lakukan selama sebulan ini. Aktifitas apa saja yang telah saya lakukan? Sudah berapa banyak manfaat yang sudah saya berikan untuk orang lain? Sudah sukseskah saya berkembang? Atau malah sebaliknya, belum sama sekali.

Semua orang pasti memiliki jalan hidup masing-masing. Semua orang memiliki keinginan sendiri-sendiri. Akan tetapi yang pasti semua orang memiliki standar hidup untuk menjadi yang lebih baik dari hari sebelumnya. Tak terkecuali dengan saya. Bahkan boleh dibilang jalan hidup yang saya lalui harus mengalami progresifitas ke arah lebih maju. Namun untuk mencapai itu, bukan hal yang remeh temeh. Butuh perjuangan dan kerja keras.

Hidup itu tak semudah membuat kopi, tinggal masak air, tuangkan ke racikan gula dan kopi (terkadang tinggal gunting sachet), lalu jadi kopi, kemudian menikmatinya di pagi hari sambil menyatap roti. Bukan. Hidup tak semudah itu. Bagi saya hidup adalah sebuah perjalanan menuju sebuah kepastian yang setiap orang pasti merasakannya nanti, yakni kematian. Hidup manusia itu, kata Martin Heidegger adalah sesuatu kehadiran yang tertuju ke arah kematian. Namun sebelum mencapai sana, tentu kita harus mengisinya dengan hal-hal yang berarti. Agar mendapatkan bekal dan dapat hidup di alam selanjutnya dengan penuh kebahagiaan.

Terkadang hidup ini membuat saya bertanya-tanya. Sebenarnya klimaks (titik puncak kenikmatan) dari sebuah kehidupan itu seperti apa? Karena selama ini, banyak orang yang rela mati-matian mengejar kesuksesan. Bekerja keras untuk menjadi jutawan, miliaran, bahkan menjadi orang terkaya sedunia. Akan tetapi ketika sudah mencapai kenikmatan itu, mempunyai mobil mewah, rumah mewah, uang berlimpah, istri sholehah, dan lain-lain. Tapi akhirnya juga akan ditinggal begitu saja.Benar apa yang dikatakan seorang teman “dan akhirnya semua akan biasa-biasa saja!”.

Meskipun demikian saya tidak hendak menjadi pribadi yang pesimistik dengan menganggap bahwa semua akan berakhir dengan kematian. Saya ingin memaknai bahwa hidup sebenarnya adalah sesuatu yang berharga. Mengapa sangat berharga? Karena kita akan mati. Peristiwa kematian itulah yang menjadikan hidup itu berharga. Kita harus mampu mengisi kehidupan itu dengan hal-hal yang berharga. Seperti bahasanya Komarudin Hidayat dalam “Psikologi Kematian”, merenungkan makna kematian tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat pendek. Ibarat orang lomba lari, maka ia akan berpacu karena adanya batas waktu dan garis finis.

Untuk memaknai waktu, saya juga masih belajar menjadi seseorang yang benar-benar sadar diri. Kesadaran diri itu penting sekali. Orang yang belum mampu menyadarkan dirinya sendiri terkadang akan membuat dirinya bermalas-malasan. Menganggap bahwa hidup itu cukup untuk melakukan itu-itu saja.

***

Bagi saya, April ini bulan yang belum sepenuhnya sempurna. Saya masih belum bisa merealisasikan target yang saya buat awal bulan lalu. Kira-kira hanya 80 persen yang saya anggap terlaksana. Itu pun menurut penilaian subjektif saya bukan objektif dari orang lain. Saya bukan kog tidak berusaha atau tidak melakukan sama sekali. Hanya saja ada beberapa kendala yang itu pasti ada dalam hidup.

Sebenarnya tak ada alasan untuk merengek selama kita mau semangat. Tapi masalahnya hidup itu tak selalu linear. Ada kalanya jatuh-bangun, naik-turun, cepat-lambat, semangat dan tidak. Hidup pasti ada dua kemungkinan tersebut. Karena saya sadar bahwa kemampuan manusia terbatas dan takdir Tuhan itu menyempurnakan. Memang benar, segala yang kita laksanakan tidak semua dari qudrat dan irodah Tuhan, ada kasb (keinginan dan kemampuan manusia untuk mengerjakan sesuatu), namun factor X pasti mendominasi. Faktor X itu adalah keberuntungan. Orang pandai masih kalah dengan orang yang beruntung. Dan keberuntunga itu datangnya dari Tuhan.

Di akhir bulan ini saya ingin menegaskan pada diri saya sendiri dan semua yang menganggap bahwa waktu itu sangat berharga, bahwa kenikmatan dan kesuksesan akan kita raih selama kita sanggup keluar dari kurungan “kemarin” dan “besok”, lalu masuk ke dalam momentum “sekarang” (now) dan” di sini” (here). Karena orang yang selalu berfikir tentang masa lalu sehingga mengabaikan hari ini, ataupun tenggelam membayangkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan berarti kita telah lari meninggalkan ruang kenikmatan, yakni momentuk “here and now”.

Muhammad Ali Murtadlo

Selasa, 30 April 2013 M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline