Bagi sebagian orang, mungkin kata bioflok masih terdengar asing ditelinga. Bioflok merupakan rekayasa lingkungan menggunakan teknologi dengan memanfaatkan bakteri pengurai. Bioflok berasal dari kata bio yang berarti kehidupan dan flok yang berarti gumpalan. Secara garis besar bioflok merupakan gumpalan kehidupan yang terdiri dari beberapa mikroorganisme.
Ikan nila merupakan komoditas lanjutan dari sistem bioflok setelah ikan lele. Ikan nila tergolong sebagai hewan herbivora sehingga mampu mencerna flok selama proses pembesarannya. Dalam perkembangannya sistem budaya bioflok semakin diminati kalangan masyarakat baik itu dalam budidaya skala kecil hingga skala besar. Budidaya ikan nila bioflok tidak memerlukan tempat yang luas dan tidak mengharuskan dekat dengan sumber air yang melimpah.
Dalam pemeliharaannya air yang digunakan tidak perlu diganti hingga masa panen. Terlebih lagi air tersebut dapat digunakan kembali untuk memulai budidaya selanjutnya. Bioflok sendiri terdiri dari 4 komponen yaitu sumber karbon, sisa pakan dan kotoran ikan, bakteri pengurai dan suplai oksigen. Kolam bioflok dapat menggunakan bak terpal dengan menggunakan rangka wiremeshh yang dibentuk bulat. Untuk suplai oksigen digunakan alat yaitu airator.
Banyak keunggulan dari budidaya sistem bioflok, selain hal diatas bioflok juga mampu tebar padat dan dapat menghemat penggunaan pakan pabrik karena kesediaan flok yang terbentuk didalam kolam. Peluang usaha ini cukup menjanjikan karen harga komoditas ikan nila merah di daerah Salatiga harganya cukup stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H