Lihat ke Halaman Asli

Kajian Bioetik Terhadap Tuntutan Suntik Mati Ignatius Ryan Tumiwa

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ignatius Ryan Tumiwa mengajukan gugatan ke mahkamah konstitusi untuk melegalkan "suntik mati". Tindakan ini tidak bisa dibenarkan apabila ditinjau dengan kaidah bioetis. Artikel ini akan membahas mengapa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.

Akhir-akhir ini, muncul di media masa seseorang bernama Ignatius Ryan yang menginginkan uji materi terhadap pasal 344 KUHP yang berbunyi "Barang siapa yang menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, akan dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun." Diduga bahwa Ignatius Ryan akan meminta suntik mati, apabila uji materi tersebut dikabulkan. Hal ini membuka isu baru yang sebelumnya sudah banyak didiskusikan di dunia, namun belum tersentuh di Indonesia: euthanasia.

Menurut John Keown, Euthanasia dibagi menjadi tiga: active euthanasia, passive euthanasia dan "Physician-assisted suicide". Pada active euthanasia, ada tindakan yang sengaja dilakukan oleh dokter dalam menghilangkan nyawa seseorang. Misalnya, melakukan injeksi yang mematikan. Pada passive euthanasia, ada act of omission yaitu dengan sengaja menghilangkan suatu tindakan yang dapat menyelamatkan pasien dengan tujuan untuk mengakhiri nyawa pasien. Dimana pada "physician-assisted suicide", dokter memberikan obat/alat untuk bunuh diri. Orang yang melakukan bunuh diri tsbt adalah pasien itu sendiri.

Apabila benar Ignatius Ryan memiliki tujuan akhir untuk meminta injeksi mati, maka dapat dikatakan bahwa Ignatius Ryan tersebut memiliki niat untuk melakukan active euthanasia. Tindakan active euthanasia tersebut tidak dapat dibenarkan dari segi bioetis. Mengapa tidak dapat dibenarkan? Teori slippery slope dari Hallvard Lillehammer akan mencoba menejelaskan mengapa ini tidak dapat dibenarkan.

Menurut argumen slippery slope ini, apabila kita melegalkan euthanasia volunter (atas permintaan sendiri). Maka, secara prinsipil kita akan melegalkan euthanasia non-volunter (atas permintaan keluarga/teman). Bayangkan, apabila seorang dokter bisa memberi suntikan mati pada pasien yang meminta suntikan mati pada dirinya. Seorang dokter juga tidak dapat menolak seorang yang meminta saudaranya dieuthanasia karena dianggap tidak kompeten dalam mengambil keputusan.

Argumen yang akan digunakan oleh Ignatius Ryan dalam mendukung gugatannya adalah prinsip dasar autonomi. Autonomi didefiniskan sebagai prinsip dasar seseorang dapat memilih hidup sesuai dengan keinginannya. Menurut saya, argumen autonomi ini tidak valid karena prinsip autonomi ini tidaklah absolut. Apabila tindakan seseorang akan berisiko dalam mencelakai orang lain/diri sendiri. Maka, argumen autonomi ini dapat diganti dengan hukum yang paling hakiki dari prinsip bioetik: "first do no harm". Janganlah mencelakakan.

Argumen kedua untuk melawan prinsip dasar autonomi ini adalah sulitnya bagi seorang dokter untukmenentukan mana pasien yang benar-benar menginginkan bunuh diri, dan mana yang meminta bunuh diri karena paksaan pihak-pihak tertentu. Bayangkan, ada dua orang pasien yang meminta euthanasia: pasien X dan Pasien Y. Pasien X ini benar-benar ingin mengakhiri nyawanya karena menurutnya hidup sudah tidak dapat dijalankan. Pasien Y dilain pihak, sebetulnya ingin hidup namun karena tekanan keluarga/pengurus pasien yang sudah lelah mengurus pasien akhirnya mendorong pasien untuk meminta euthanasia. Bagaimana cara memastikan bahwa permintaan euthanasia benar-benar autonomous? Belum ada jawaban yang memuaskan.

Saudara-saudara sekalian, Indonesia adalah negara yang berketuhanan yang maha esa. Melegalkan euthanasia artinya membunuh salah satu ciptaanNya yang paling agung: manusia. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa euthanasia tidak memiliki tempat di Indonesia.

Aldo Ferly, M.Res

Peneliti sel punca di Newcastle University. Alumni Bioethics course Georgetown University. Tulisan dapat dilihat di aldoferly.com ngobrol2 yuk follow @aldoferly :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline