Saya tak pernah membayangkan, jika hari itu akan tiba. Hari yang selalu menjadi tanda tanya di benak saya. Hari di mana saya ingin sekali mengetahui penyebab dari semuanya, dari kesedihan yang ku arungi begitu lama.
Kejadian tersebut masih terasa segar di benak saya. Kala itu, malam yang seharusnya tenang berubah menjadi tragis dan mengerikan. Dari jauh terlihat kobaran api yang begitu besar, melahap bangunan-bangunan yang berdiri kokoh dihadapannya. Abu bertebaran, asap mengepul begitu tebal, beberapa orang menjerit; beberapa yang lain sibuk terbirit-birit menyelamatkan barang berharganya; sebagian kecil memadamkan api sembari menunggu pemadam kebakaran datang. "Bangunan mana yang terbakar pak? tanya saya kepada salah satu warga yang berada di sekitar. "Gereja mas, gereja dibakar!" jawab beliau.
Gereja? Saya terkejut betul mendengarnya sebab rumah saya tidak begitu jauh dari gereja hanya terpaut 1 blok dari sana. Dan Ibu, Ibu adalah pelayan di sana. Tidak, tidak mungkin. Saya harap angin tidak mengarah menuju rumah, dan semoga Ibu tidak sedang di gereja kali ini. Seketika saya berlari menuju rumah. Tetapi saya perlu memutar dahulu, sebab kumpulan manusia di depan tidaklah mudah untuk diterjang.
Beruntung. Itulah kata yang bisa menggambarkan kondisi saat itu. Sesampainya di sana saya melihat rumah masih berdiri kokoh, api tidak singgah kesini, dan angin berpihak kepada saya. Lega rasanya. Dari depan pagar saya dapat melihat bapak dengan jelas yang sedang duduk di beranda.
"Yang lain di mana Pak? Vira? Ibu?" tanyaku
"Vira belum pulang, dan untuk Ibu, Ibu tadi keluar." pungkasnya
"Keluar? Ke mana Pak?"
"Tadi Ibu dipanggil untuk ke gereja Sang. Pengurus memintanya ke sana. Tidak tahu untuk urusan apa."
Sialan. Perasaan ini diombang-ambing, dibuat main. Saya pikir setelah melihat rumah masih berdiri dengan kokoh, dan tidak dilahap oleh kobaran api, saya kira semuanya telah usai. Namun nyatanya tidak. Saya dan bapak masih belum mengetahui keberadaan ibu saat ini, ibu tidak membawa telepon dan pengurus yang lain juga tidak menjawab panggilan bapak. Yang hanya bisa kami lakukan adalah menunggu, menunggu api yang tak kunjung padam dan Ibu yang tak kunjung pulang. Tidak ada pikiran positif dalam diri ini sebab jika memang Ibu selamat sudah seharusnya dia pulang, saya memaksa ikhlas jika memang ibu pergi, lagipula ibu pergi dalam keadaan baik dan di tempat yang baik. Tidak tahu dengan bapak, tapi saya harap dia pun sama. Tidak ada yang bisa disalahkan dari sebuah musibah, kesedihan memang pasti ada, tapi kita juga perlu mengikhlaskan atas segala yang terjadi. Karena memang hal tersebut sudah semestinya terjadi. Itulah kehendak Tuhan.
Setelah menunggu lama, pemadam kebakaran pun datang. Kobaran api berhasil dipadamkan, dan proses evakuasi korban dilakukan. Mereka menemukan 5 korban. Identitasnya tidak diketahui. Jadi mereka butuh waktu untuk mengidentifikasi korban tersebut. Pergilah mereka meninggalkan kami dalam kebingungan. Selang beberapa hari kemudian kabar datang, dan benar, Ibu adalah salah satu korban. Tidak perlu waktu lama bagi untuk melakukan proses pemakaman. Hari itu juga Ibu dimakamkan, kami mengantarnya sampai tempat tujuan. Segala haru turun untuk ibu, segala air mata jatuh untuk kepergian ibu, pun juga segala doa baik, dan harapan kami tujukan untuknya. Segalanya. Selamat jalan Ibu. Kami harap Tuhan dapat menjagamu di tempat baru.