Lihat ke Halaman Asli

Mengintip Tradisi Tahlilan dalam Masyarakat NU

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Muhammad Ali Ridho*

Salah satu tradisi kaum muslimin khususnya kaum Nahdiyyin, adalah Tahlil atau disebut juga dengan istilah Tahlilan, tradisi ini biasanya identik dengan suatu perkumpulan dalam rangka berdo’a, yang di kemas dengan bacaan Al Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat, dan bacaan lainnya, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia. Walaupun arti sebenarnya tahlil itu sendiri adalah bacaan “Laailaaha illallaah”, penyebutan istilah tersebut dalam sastra Arab disebut dengan istilah “itlakul juz’i wa irodhatil qulli “ yang artinya “ menyebutkan sebagian, tapi yang dimaksud adalah seluruhnya”. Tahlil sendiri adalah sebagian dari beberapa macam dzikir yang dibaca pada acara tersebut.

Sebenarnya  tradisi bacaan Tahlil atau tahlilan sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini, tidak di jumpai  secara khusus pada zaman nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama muta’akhirin (khalaf) sekitar abad ke-11 hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.

Entah siapa sebenarnya yg pertama kali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya, tetapi hal tersebut pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail oleh para kyai Ahli Thariqah. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa yang menyusun tahlil pertama kaliadalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad.

Dari kedua pendapat di atas pendapat yang paling Rajih (kuat) tentang siapa penyusun pertama rangkaian bacaan tahlil adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.

Statementersebut diperkuat lagi oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa konon kebiasaan imam Abdullah Al Haddad stelah membaca Ratib adalah membaca tahlil dan para jamaah yang hadir dalam majlis Al-Haddad ikut membaca tahlil secara bersama-sama, tidak ada yang saling mendahului di antara mereka sampai beratus-ratus kali.

Seiring dengan kemajuan zaman acara tahlilan sering dipertentangkan oleh para pembaharu ataupun para modernis yang berkedok Islam, tahlilan dianggap acara yang keliru dengan alasan bahwa acara tersebut tidak ada landasan dari Al Qur’an atau dianggap menyebabkan orang gampang berbuat dosa, karena nanti dapat ditebus dengan mengadakan slametan atau tahlilan dan sebagainya yang mudah dilakukan oleh orang-orang yang mampu.

Dan ada pula  yang mengatakan tahlil itu adalah kegagalan perjuangan ulama terdahulu yang belum sempat menghapus acara tersebut, dikarenakan acara tersebut sudah mengakar dalam masyarakat dan sangat sulit untuk menghapusnya dan dibutuhkan waktu yang lama untuk menghapusnya hingga sampai sekarang ini, dan masih banyak lagi alasan yang yang mereka lontarkan untuk menghujat acara tahlilan ini .

Tradisi Tahlilan yang sampai sekarang semakin mengakar dilakukan sebagian besar kaum muslimin di Dunia terutama di Indonesia, terkhusus lagi kaum nahdiyyin dari satu sisi dapat kita nilai sebagai suatu keberhasilan para muballigh, para kyai dan para ulama terdahulu, yang harus disyukuri dan dibenahi serta di paripurnakan. Bukan disalahkan dan diprogramkan untuk dihapus secara total, karena ketika Islam baru muncul ke Indonesia, ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia, maka tradisi yang dilakukan oleh keluarga, kerabat dan para tetangganya adalah meratapi si mayit dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, seperti bermain kartu, judi, sabung ayam, minum minuman keras dan bahkan praktek perzinahan , Naudzu billahi min dzalik.

Setelah kedatangan para muballigh secara berangsur-angsur, beliau-beliau berusaha dengan sabar dan perlahan-lahan mengajak mereka membaca atau mengucapkan kalimah thayyibah dan bacaan-bacaan lainnya. Sehingga lama kelamaan acara ini berlangsung hingga sampai sekarang ini yang kita sebut dengan acara “tahlilan”

Jika kita tilik dari segi kemanfaatannya , tradisi tahlilan tersebut sangat banyak manfaatnya baik untuk personal maupun untukkhalayak umum, diantara kemanfaatanyang dapat di petik anatara lain:Pertama Sebagai ikhtiar (usaha) bertaubat kepada Allah SWT untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal dunia.keduaUntuk mengingatkan bahwa akhir hidup di dunia ini adalah kematian, yang setiap jiwa tidak akanterlewati.Ketigasebagai media konsolidasi hubungan ukhuwah antara sesama muslim.keempatsebagai salah satu media untuk menyejukkan rohani Ditengah hiruk pikuk dunia. kelimaSebagai manifestasi dari rasa cinta sekaligus penenang hati bagi keluarga almarhum yang sedang dirundung duka. KeenamTahlil merupakan salah satu bentuk media yang efektif untuk dakwah islamiyah.dan yang ketujuhtahlil juga sebagai realisasi birrul walidain seorang anak kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.

Terlepas dari manfaat yang telah penulis paparkan, Seringkali terjadi ekses (berlebih-lebihan) di dalam pelaksanaan tahlilan, baik mengenai “frekuensi” nya maupun suguhannya atau ekses dalam sikap batinnya (seperti merasa sudah pasti amal orang yang ditahlili diterima Allah SWT dan segala dosanya sudah diampuni oleh-Nya, kalau sudah ditahlili atau dihauli). Sikap “memastikan” inilah yang bertentangan dengan syari’at agama. Ekses-ekses inilah yang harus menjadi garapan wajib para pemimpin umat, dan kita semua  untuk meluruskannya. Memang jika kita teliti masih banyak amalan-amalan kaum muslimin yang belum sesuai benar dengan ajaran Islam, Sedangkan agama Islam itu sendiri sudah sangat paripurna. wallahu a’lambisshawab *Diolah dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline