Dimasa paceklik atau dalam KBBI ialah masa sulit/ masa sepi kegiatan perdagangan dll seperti sekarang, Saya kembali teringat dengan nasehat orang tua jaman dulu "Yen wedi ojo wani-wani, yen wani ojo wedi-wedi" maksudnya adalah jadilah orang yang berprinsip, tegas, dan jangan ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
Pandemic yang sudah berjalan hampir setenggah tahun ini membuat banyak kelumpuhan pada berbagai sektor perekonomian yang ada pada Indonesia. Hampir setiap negara yang berdampak covid-19 mendapati permasalahan yang hampir sama dalam sektor ekonomi makro.
Disini peran saya adalah sebagai mahasiswa yang sudah hampir 3 bulan lamanya menjalani kegiatan belajar mengajar dirumah. Banyak hal yang berubah dan tidak seperti pada normalnya dengan begitu kita harus mampu beradaptasi secara cepat. Terhambatnya berkegiatan diluar rumah, bertemu dengan teman sebaya, atau sekedar hangout menjadi kegiatan yang harus ditunda saat ini.
Kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dirumah pada mulanya disambut baik, banyak siswa yang merasa senang menjalani libur namun, sesuatu yang berlangsung lama dan itu-itu aja pasti akan membuat boring dan jadi malas-malasan bukan? tapi jika kita terus menerus malas-malasan bukannya tambah menjadi baik tapi justru akan berimbas dengan kondisi psikologis diri kita. Kondisi kita sekarang dengan keterbatasan inilah bisa memunculkan ide-ide kreatif atau mencoba hal baru yang sebelumnya belum bisa kita lakukan, seperti belajar memasak, mengikuti kelas olahraga secara online, maupun mengasah keterampilan literasi kita.
Selama menjadi mahasiswa yang pada normalnya mempunyai uang saku bulanan, semenjak dirumah saja alhasil tidak diberi uang bulanan, pasti banyak yang mengeluh saat ini. Keinginan untuk membeli ini itu harus ditahan, jika memang sangat dibutuhkan mungkin kita dengan bijak harus melihat prioritas dari kegunaan yang dirasa penting. Banyak sekali toko online shop yang memberi diskon besar besaran pada kondisi saat ini, namun Kembali lagi tidak semua yang kita inginkan harus dibeli bukan?, kita harus berperilaku objektif saat pandemic seperti ini.
Jika kita peka, saat ini banyak orang yang memakai media sosial sebagai promosi barang dagangan maupun sebagai dropshiper, cukup menampilkan produk yang akan ditawarkan pada story whatsapp/ snapgram saja. Hal ini adalah cara yang mudah dalam mendapatkan penambahan pendapatan pada kondisi sekarang, Itung-itung sebagai mahasiswa kita belajar berwirausaha. Dalam menjalankan bisnis kita tidak boleh ragu-ragu dan mampu melihat peluang, Ajaran hidup orang tua dulu "Yen wani ojo wedi-wedi" jangan setenggah-setenggah dalam berbisnis selalu menjadi semangat saya dalam promosi barang melalui media sosial.
Kemarin saya membaca berita dari sebuah media online, Menteri keuangan Sri Mulyani berpidato bahwa sektor perhotelan dan restoran merupakan sektor yang berdampak langsung pertama kali dari adanya pandemic ini, sekitar 90% kerugian dari sektor restoran yang akan berimbas pada pendapatan negara yang akan berkurang secara signifikan. Wahh saya sempat merasakan khawatiran dengan kondisi pendapatan negara dan nilai rupiah apabila terus menerus turun, penurunan nilai rupiah yang terus menerus akan berakibat pada krisis moneter jika tidak segera ditangani.
Indonesia punya sejarah buruk mengenai krisis moneter, krisis moneter tahun 1997-1998 tidak menimpa Indonesia saja melainkan negara lain di Asia seperti Thailand dan Korea Utara. Saya akan mencoba menceritakan sedikit mengenai asal mula terjadinya krisis pada jaman Suharto ini. Pada bulan Juni 1997 Indonesia masih jauh dari dampak krisis, surplus neraca perdagangan besar, inflasi rendah, dan cadangan devisa cukup besar. Oleh karena itu, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam uang dalam bentuk dolar karena dirasa pinjaman dalam bentuk dolar dianggap lebih murah. Namun kemudian keadaan pemerintahan yang banyak melakukan KKN (Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme) menimbulkan banyak kerugian pada sistem keuangan negara. Rupiah dan Bursa efek menyentuh titik terendah, nilai tukar rupiah yang hanya Rp. 2.380 untuk US$ 1 naik dan menyentuh Rp. 14.150 pada bulan desember 1998 sehingga banyak perusahaan yang meminjam dolar harus menghadapi biaya yang berkali lipat untuk membayar hutang.
Disini juga terjadi kesalahan bahwa Presiden Suharto memecat gubernur Bank Indonesia pada saat itu, sampai pada akhirnya bulan Mei 1988 presiden dipaksa turun, dari sini krisis moneter memuncak. Peranan Bank Indonesia sangat penting dalam mengantisipasi lagi hal-hal tersebut, namun dikarenakan kebijakan pemerintah yang mengarah pada keotoriteran menghambat adanya kebijakan dalam stabilitas keuangan negara.
Namun saat ini, setelah saya membaca dari beberapa sumber ternyata Bank Indonesia mempunyai keistimewaan dengan kebijakan Makroprudensialnya. Kebijakan ini dibuat untuk menjaga kestabilan keuangan negara dengan apapun caranya. Meskipun disana saya bilang dengan apapun caranya, pasti Bank Indonesia sudah mencari cara terbaik dengan resiko sekecil kecilnya guna menjaga kestabilan keuangan negara. Jadi jangan berprasangka buruk dengan kebijkan yang dikeluarkan Bank Indonesia, meskipun ada resiko yang ditimbulkan namun keuntungan yang lebih besar juga dihasilkan guna perbaikan ekonomi di Indonesia. #Makroprudensial Aman Terjaga