Lihat ke Halaman Asli

Aldi Gozali

A lifelong learner

Hulu Migas Nasional Perlu Direstorasi

Diperbarui: 5 Juli 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14266389781296480298

Indonesia bukanlah pemain baru dalam industri minyak dan gas (migas). Sejak pertama kali ditemukannya ladang minyak komersial di Sumatera Utara tahun 1885, Indonesia terus memainkan peran penting dalam industri ini di kancah internasional. Sebagai puncaknya, Bumi Pertiwi berhasil berdiri sejajar dengan negara-negara penghasil minyak terbesar global yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), terhitung sejak tahun 1962. Namun, seiring konsumsi minyak yang terus menimpang produksinya, Indonesia harus rela menanggalkan kejayaannya tersebut dan (harus) terbiasa dengan status importir minyak netto (net oil importer) hingga waktu yang belum bisa ditentukan.

Ketimpangan yang terjadi sejak tahun 2004 itu telah mencuri banyak perhatian berbagai pihak, mengingat Indonesia harus menutupi gap yang timbul dengan cara impor -- salah satu yang membebani fiskal kita. Sebagaimana bisa dilihat pada grafik 1, produksi minyak Indonesia terus merosot dalam 14 tahun terakhir, berbanding terbalik dengan sisi konsumsinya.

Kurangnya investasi di sektor hulu migas sepertinya memang memiliki aroma yang kental sebagai penyebab utama mengapa semua ini terjadi. Dalam pandangan saya, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi ini semua. Namun, sebelum sampai ke situ, mari kita telaah terlebih dahulu secara singkat seperti apa sebenarnya mekanisme yang ada dalam industri -- yang oleh sebagian kalangan disebut “ladang basah” -- ini.

Ikhtisar Pola Industri

Pada dasarnya, industri migas mencakup tiga bagian atau sektor utama, yaitu hulu (upstream), tengah (midstream), dan hilir (downstream). Sektor hulu adalah lingkup yang di dalamnya terdapat segala aktivitas yang berkenaan dengan eksplorasi dan produksi (exploration and production/E&P) minyak dan gas alam. Sektor tengah adalah dimana pengangkutan hasil produksi ke sektor hilir dilakukan (biasanya menggunakan kapal tanker ataupun pipa). Sektor hilir, dimana hasil produksi lalu dikilang dan disuling sampai menghasilkan produk akhir (end products) yang nantinya akan dipasarkan ke pengguna akhir (end users). [caption id="attachment_356067" align="aligncenter" width="531" caption="Gambar 1. Rantai bisnis migas"]

14266391261639655333

[/caption] Dalam prakteknya di Indonesia, sektor tengah industri migas selalu digabungkan ke dalam sektor hilir sehingga yang sering terdengar hanyalah dua sektor, yakni hulu dan hilir. Ini sebagai pengejawantahan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang di dalamnya hanya menyinggung sektor hulu dan hilir dan tidak sama sekali menyinggung tentang sektor tengah. Bagaimanapun, semua sektor tersebut bersifat hirarkis, yang artinya kelangsungan industri ini akan bergantung pada sektor hulunya.

Sebagai gambaran sederhananya, jika ternyata eksplorasi tidak menghasilkan apa-apa (baca: tidak ditemukannya cadangan minyak alias sumurnya kering) maka aktivitas pada sektor-sektor di tingkat bawahnya pun tidak akan bisa berjalan -- tidak akan ada tindakan lanjutan yang bisa dilakukan. Apa yang mau dijual kalau hasil produksinya saja tidak ada? Oleh karenanya, memang tepat kalau aktivitas E&P disebut sebagai ruhnya industri migas.

Dengan gambaran sederhana itu, saya berpandangan kalau sektor hulu memang perlu mendapat perhatian lebih -- karena ini menyangkut sektor-sektor di bawahnya, yang juga menyangkut nasib ribuan tenaga kerja. Tentu, bukan berarti saya menganggap selama ini pemerintah tidak menaruh perhatian lebih pada industri ini. Hanya, dalam prakteknya masih banyak upaya yang menurut saya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh demi optimalisasi kinerja industri dan juga demi pemasukan negara, yang ujung-ujungnya akan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

 

Problematika Investasi Hulu Migas

Seperti yang telah disinggung di atas, penurunan produksi migas secara terus-menerus nampaknya memang disebabkan oleh faktor tunggal, yakni kurangnya investasi pada sektor hulunya. Ini bisa terjadi karena beberapa hal. Namun, dalam kasus di Indonesia, kurangnya minat investor untuk masuk ke wilayah ini terasa sangat dominan. Lelang Wilayah Kerja (WK) yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa kali terakhir menjadi bukti betapa sektor hulu migas kita sepi peminatnya. Lelang WK Migas Tahap I Tahun 2013 misalnya, yang menawarkan 16 WK namun hanya enam WK yang mendapat sambutan investor.

Kondisi seperti ini tentu saja tidak terlepas dari iklim investasi yang ada, khususnya di hulu migas. Dalam dunia investasi, sudah barang tentu kalau investor selalu memperhatikan risiko sebelum mengambil keputusan. Risiko memang tidak bisa dihindari namun sangat mungkin untuk dikendalikan. Risiko akan sangat terkendali apabila iklim investasinya sehat. Sebaliknya, risiko akan menjadi sangat riskan apabila iklim investasinya tidak kondusif. Mengingat eskplorasi migas sarat dengan modal besar maka iklim investasi yang sehat pada sektor hulunya adalah syarat utama yang harus terpenuhi untuk menarik minat investor.

Sebuah survei dua tahunan yang dirilis PricewaterhouseCooper (PwC) pada Mei 2014 menyimpulkan kalau sebagian besar pelaku di hulu migas memandang iklim investasi migas di Indonesia kurang kondusif. Adapun pokok permasalahan yang lebih banyak ditekankan dalam survei tersebut yakni perihal ketidakpastian hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline