Lihat ke Halaman Asli

Aldi Gozali

A lifelong learner

Seputar Analisis Fundamental Perusahaan

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14062904581447291343

[caption id="attachment_316800" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi gambar: Indian Express"][/caption]

Dalam memilih saham, analisis fundamental menjadi pendekatan paling utama yang tak boleh dikesampingkan oleh para investor. Analisis ini bertujuan mencari tahu kondisi faktual sebuah perusahaan dari data-data keuangan yang ada. Paradigma "why to buy?" menjadi dasar para pelaku pasar yang menganutnya.

Skema Atas-bawah (Top-down Scheme)
Satu skema yang tak pernah bisa dilepaskan dari analisis fundamental adalah skema atas-bawah atau sering pula disebut skema makro-mikro (macro-micro shceme). Pada skema ini, investor diarahkan untuk menganalisis dengan suguhan gambaran besar (makro) terlebih dahulu, baru kemudian hal-hal dengan skala yang lebih spesifik (mikro) dari gambaran tersebut. Gambaran yang dimaksud mencakup tiga aspek, yakni: (secara berurut dari atas ke bawah) ekonomi, industri, dan perusahaan.

Sebagai aspek yang paling utama, ekonomi merepresentasikan segala aktivitas pada suatu negara atau wilayah. Ekonomi menjadi acuan dikarenakan segala aktivitas pada suatu negara/wilayah tak akan terlepas dari motif ekonomi: segalanya menyangkut ekonomi, dan segalanya berdampak pada ekonomi. Itulah mengapa, ekonomi menjadi gambaran utama tentang kondisi suatu negara/wilayah.

Relevansinya yaitu, gambaran tersebut dapat mempengaruhi persepsi investor. Kondisi ekonomi yang carut-marut menggambarkan penyelenggaraan sebuah negara/wilayah yang kurang baik, yang pada akhirnya bisa membuat investor urung menanamkan modalnya di negara/wilayah yang bersangkutan. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang stabil dan terus tumbuh menggambarkan penyelenggaraan yang baik atas suatu negara/wilayah dan akan membuat pasar sahamnya lebih atraktif dan bisa menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di sana. Sebagai contoh, krisis keuangan zona eropa beberapa tahun lalu mampu membuat pasar sahamnya terpuruk. Hal ini dikarenakan investor berbondong-bondong meninggalkan pasar zona tersebut agar tidak terkena dampak pertumbuhan ekonomi negatif. Berbeda halnya dengan negara-negara yang kala itu ekonominya tumbuh stabil seperti Indonesia, investor ramai-ramai memburu saham-saham di Nusantara agar bisa meraup untung dari pertumbuhan ekonominya tersebut.

Setelah kondisi ekonomi teranalisis, gugusan/kelompok industri menjadi aspek selanjutnya yang perlu dievaluasi. Industri dapat diartikan sebagai kumpulan dari beberapa entitas/perusahaan yang bergerak di bidang yang sama. Industri dapat pula menjadi representasi dari suatu kondisi umum namun dalam skala yang lebih kecil dan terbatas, yakni hanya pada kondisi unit-unit usaha di dalamnya. Para investor biasanya menilik kondisi industrinya terlebih dahulu sebelum menentukan perusahaan apa yang akan mereka transaksikan. Industri dapat dianggap sebagai variabel moderator karena ia rentan terhadap suatu kondisi ekonomi, baik skala global, regional, maupun nasional. Meskipun tak mutlak, kondisi ekonomi yang baik akan berpengaruh pada kinerja industri yang baik, begitupun sebaliknya. Dan, seperti halnya variabel moderator, ia pun akan mempengaruhi sektor terkecil yang dibawahinya -- unit usaha. Katakanlah, ketika terjadi krisis global tahun 2008, dimana sejak itu (dan sebetulnya masih sampai saat ini) sektor komoditas, khususnya batu bara, mengalami tekanan yang cukup berat. Industri batu bara di dalam negeri tentu saja turut merasakan dampaknya, terlebih Tiongkok sebagai salah satu negara pengimpor batu bara terbesar mengurangi pembeliannya. Kondisi tersebut semakin membuat industri komoditas ini loyo. Tak heran kalau unit-unit usaha yang ada pun menjadi tak berdaya. Kalau sudah begini, jangan tanya mengapa harga saham perusahaan-perusahaan terkait anjlok.

Analisis Rasio


Sebagai objek di tingkat terakhir, unit usaha/perusahaan seolah menjadi tampuk dan simplifikasi dari apa yang terjadi pada sektor hulunya. Oleh karenanya, mengevaluasi kinerja perusahaan menjadi suatu keharusan bagi investor agar mengetahui mana saja yang terbaik. Dalam hal ini, rasio-rasio keuangan memiliki peran penting yang dapat menjadi ukuran kinerja antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya, rasio inilah yang sering kali menjadi pertimbangan utama para pelaku pasar dalam menentukan keputusan investasinya.

Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi semua kewajiban atau utang jangka pendeknya. Umumnya, semakin tinggi nilai rasio ini dimiliki sebuah perusahaan, semakin besar batas aman perusahaan tersebut dalam melunasi semua utangnya. Dengan rasio ini investor dapat mengetahui apakah sebuah perusahaan mampu memenuhi kewajibannya dengan baik atau tidak.

Dalam prakteknya, sering ditemukan perbedaan cara dalam menghitung likuiditas perusahaan. Perbedaan ini membuat perhitungan rasio likuiditas perusahaan terbagi menjadi dua tipe, yaitu rasio lancar (current ratio) dan rasio cepat (quick ratio).

Rasio lancar menjadi yang paling umum digunakan di kalangan investor. Rasio ini dianggap mampu menunjukkan kondisi likuiditas perusahaan secara lebih relevan dan akurat karena perhitungannya mencakup semua aset lancar (kas, setara kas, surat berharga, piutang, dan inventarisasi) dan kewajiban lancar (wesel bayar, utang, utang pajak, dan tunggakan biaya lainnya). Sementara rasio cepat dianggap lebih dinamis karena perhitungannya hanya menggunakan aset lancar yang dianggap benar-benar likuid (mudah diuangkan); akun seperti persediaan/inventarisasi dan surat berharga tidak digunakan. Formula untuk menghitung kedua rasio tersebut bisa Anda lihat pada gambar di bawah ini:

14062712972033361933

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline