Lihat ke Halaman Asli

Efektifias Restorative Jucetis sebagai Alernatif Penyelesaian Tindak Pidana dalam System Hokum di Indonesia

Diperbarui: 13 Mei 2024   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya menjungjung tinggi nilai- nilai moral, etika serta norma hokum yang berlaku dinegara ini, tujuan tersebut merupakan langkah dalam membangun kehidupan yang sesuai dengan cita-cita hokum yakni menciptakan ketertiban, keamanan keselarasan dan keseimbangan bagi seluruh warga negara, untuk mengimplmentasikan ajaran norma hukum tidaklah mudah karena hal terssebut terus mendapatkan tantangan di era globalisasi ini sehinga mempengaruhi budaya hokum yang diterapkan oleh masyarakat.

Dalam Bahasa belanda ada istilah yang mengatakan ''het recht hinkt achter de feiten aan'' hokum itu berjalan terseok-seok mengikuti facta. Fakta-fakta kehidupan masyarakatlah yang munculnya norma hokum untuk dikukuhkan, karena hal tersebut merupakan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat berulangkali sehingga hal ini menimbulkan ikatan bagi setiap individu ataupun kelompok selain dari pada pola kehidupan yang dianggap mengikat dan baik untuk dijadikan sumber kebiasaan, pada hal tertentu ketika ada yang melanggar maka norma hokum juga memberikan sanksi sebagai bentuk hukuman. Hokum erat kaitanya dengan system penegakan hokum aliran legisme memandang penegakan hokum hanya bersandarkan pada undang-undang semata cara seperti ini hanya melihat persoalan hokum sebagai coretan diatas kertas hitam dan putih, padahal hokum harus juga dilihat dari perfeksif social, perilaku yang senyatanya dapat dilihat dan diterima oleh semua insan yang ada didalam internal hidup, penegakan hokum pada system peradilan tidak pidana sejatinya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan conflik menegakan kebenaran dan keadilan, dan bahkan dapat pula menjadi sarana rekayasa social ( social engineering ) bagi masyarakat.

Dalam melaksakan sebuah penegakan hokum aparat polisi ataupun jaksa tidaklah harus mereduksi pemahaman bahwa menegakan hokum sama artinya dengan menegakan undang-undang karena p emahaman ini dapat menimbulkan implikasi penegekan hokum dan undang-undang menjadi pusat perhatian padahal, masalah penegakan hokum tidak dapat hanya dilihat secara utuh dengan menegakan undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibakan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu hadirnya Restorative Justice'' sebagai alternative di antara sistem penegakan hokum pidana merupakan langkah solusi yang konkret bagi para pencari keadilan.

Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses  dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.

Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi. Oleh karena hal tersebut penulis berpendapat, efektifitas dari adanya system restorative justice dapat diintegrasikan dalam penegakan hukum pidana melalui keterlibat lembaga pemasyarakatan, jaksa, atau hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Peraturan PemerintahNomor 44 Tahun 2008, serta peraturan tambahan yang diberikan kepada aparat hukum melalui prinsip penciptaan, pemadaman, dan perubahan aturan pokok. pendekatan demokratis yang diambil oleh pihak kepolisian terhadap pelaku tindak pidana dengan menerapkan restorative justice sebagai bagian dari reformasi paradigma, meskipun tanpa dasar hukum yang kuat. mplementasi pendekatan keadilan restoratif sebagai Crime Control Model memiliki potensipendekatan yang dapat memaksimalkan pelaksanaan restorative justice dalam masyarakat, memperhumanis proses penegakan hukum dengan menekankan aspek edukasi. Pendekatan ini dapat berperan dalam menekan tingkat kriminalitas dan, meskipun tidak dibahas dalam konteks penelitian ini, berpotensi sebagai mitigasi terhadap isu-isu lain yang berkaitan dengan tinda kriminal, seperti masalah kelebihan kapasitas (overcapacity).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline