Lihat ke Halaman Asli

Aldiapensa Adha Etfa

Mahasiswa Hukum universitas Jambi

Dampak Joint Statement Indonesia-China

Diperbarui: 18 November 2024   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 9 November 2024, Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping di Beijing mengeluarkan pernyataan bersama atau joint statement yang menegaskan penguatan kemitraan strategis komprehensif, mencakup berbagai aspek, seperti perdagangan, energi bersih, pendidikan, dan pariwisata. Namun, Joint Statement ini membuat kontroversi, ini dikarenakan pada point 9 menyatakan “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims.” Padahal dalam sejarahnya, Indoneisa tidak pernah mengakui adanya klaim tumpang tindih dengan China. Poin ini menuai kritik karena dianggap dapat ditafsirkan sebagai pengakuan atas klaim Tiongkok di Laut China Selatan, termasuk klaim sembilan garis putus (nine-dash line).

Seperti yang kita tahu, selama ini Indonesia telah mengambil berbagai langkah strategis untuk mempertahankan kedaulatannya di Laut China Selatan, khususnya di sekitar Kepulauan Natuna, dari tekanan klaim "nine-dash line" oleh China. Upaya ini melibatkan diplomasi aktif melalui penolakan tegas terhadap klaim yang bertentangan dengan UNCLOS 1982 serta partisipasi dalam finalisasi Code of Conduct (CoC) ASEAN-China guna mencegah konflik lebih lanjut. Selain itu, pemerintah juga mendorong aktivitas ekonomi dan sosial di Natuna untuk memperkuat posisi kedaulatan melalui "effective occupation," seperti pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan nelayan lokal.

Pernyataan  Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengenai banyanknya kritik terhadap prjanjian bersama (joint statement) sebagai berikut.

Menyikapi joint Statement tersebut, Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan, “Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “9-Dash-Lines”. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bawa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara”, tulis Kementrian Luar Negeri dalam keterangan pers tertulisnya di situs resmi.

Prabowo menyebut telah membahas persoalan LCS dengan Presiden AS Joe Biden saat bertemu di Gedung Putih, Washington DC pada Selasa (12/11/2024). Menurutnya, Indonesia membuka pintu kerja sama dengan semua negara.

"Laut China Selatan kita bahas. Saya katakan kita ingin kerja sama dengan semua pihak. Kita menghormati semua kekuatan, tapi kita juga akan tetap mempertahankan kedaulatan kita," kata Prabowo di Amerika Serikat, Kamis (14/11).

Join Statement antara Indonesia dan China tidak hanya berpengaruh pada kedaulatan dalam negara Indonesia tetapi juga pada relasi dengan negara-negara tetangga, terkhususnya negara anggota ASEAN. Mengingat beberapa negara anggota ASEAN juga berkonflik dengan China terkait dengan klaim sepihak atas kedaulatan di Laut China Selatan berdasarkan konsep sembilan (bahkan kini menjadi sepuluh) garis putus yang juga beririsan dengan wilayah laut negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Vietnam. Tindakan Indonesia dinilai dapat  berpotensi merusak atau mencederai hubungan dengan negara anggota ASEAN yang juga sedang mempertahankan kedaulatan lautnya dari intervensi China.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline