Lihat ke Halaman Asli

Surat dari Aufflanger kepada Bung Agus

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kepada:

Saudaraku Bung Agus

Di Nusantara

Sekitar sebulan yang lalu aku melihat tontonan di pelbagai stasiun televisi swasta di Negaramu. Semuanya menayangkan tontonan yang agaknya menggelikan. Ya, tepatnya tanggal 28 Januari 2010. Saat itu, banyak hal yang mengotori jalanan tempatku dulu singgah. Mulai dari pelajar, preman, petani biasa, bahkan kerbau pun ikut-ikutan. Awalnya, kupikir itu hanyalah sebuah pawai biasa. Romannya, berubah menjadi sihir yang membuatku tak tahan ingin tertawa.

Mungkin bukan pertama kalinya aku melihat hal yang seperti ini. Tapi, kurasa ini yang terparah. Pikir saja, seorang pemimpin negara yang sedang krisis sepertimu malah dijatuhkan. Wah, ini hebat kawan. Di saat negara butuh uluran tangan, malah menyeret kaki dengan beranjak menjauh, kemudian datang lagi dengan melempar sebuah terompah. Hebat!!! Aku antusias dengan negaramu.

Bung, apalah arti model demokrasi jika kau justru meracuni. Apalah guna seorang pemimpin jika kau menginjaknya. Dan, apalah guna kau mengkritisi jika tidak tahu caranya. Aku tidak kasihan kepada pemimpinmu, toh itu negaramu. Yang aku kasihani adalah bagaimana malunya negaramu dihadapan kami. Begitu teganya Si Buya berkeliaran di jalan umum. Begitu kontrasnya kalian memberi perlawanan. Hah, tapi ya sudahlah, ini semua urusan kalian.

Dulu aku belajar kepadamu cara menghormati orang yang lebih tua, menyayangi antar sesama, mendukung tetua sesuai track-nya, hingga sadar bahwa mencekik orang dari belakang itu salah. Namun, aku sarankan justru Kau harus berguru kembali kepadaku. Bukankah model perubahan itu tidak hanya berakar pada sistemnya? Tapi juga pada jaringannya.

Bung, aku tak ingin banyak bercekcok lagi masalah ini. Karena aku bukan pendukung siapa pun itu. Aku hanya ingin membantu kawanku yang sedang sekarat. Hingga suatu saat, ketika kudatang, Nusantara itu jauh lebih baik dari apa yang kulihat dalam bejana gelap ini. Sampaikan salamku pada ibu Pertiwi, sebelum kudengar ajalnya menghampiri.

ttd.

Aufflanger




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline