Lihat ke Halaman Asli

Reformasi Kepolisian (yang) Tertunda

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di penghujung tahun 2011 kemarin rakyat Indonesia kembali dihadapkan beberapa kasus tragedi kekerasan yang dilakukan oknum aparat keamanan khususnya aparat kepolisian. Penembakan demonstran di Freeport Papua, Tragedi Mesuji Lampung, pembubaran massa aksi penolakan tambang di Bima serta perlakuan tidak menyenangkan dari oknum aparat keamanan terhadap aksi-aksi demonstrasi mahasiswa menjadi cerita sehari-hari di media massa. Seakan tidak belajar dari pengalaman- pengalaman sebelumnya, institusi kepolisian menjadi sorotan yang paling tajam dalam tindakan kekerasan yang terjadi belakangan ini. Kontras mencatat di tahun ini terjadi  lebih dari 100 kasus dengan sedikitnya 20 korban tewas yang melibatkan aparat keamanan. Mayoritas dari kasus yang terjadi kekerasan adalah aparat keamanan yang bertindak berlebihan dalam penanganan aksi unjuk rasa masyarakat. Belum lagi kekerasan yang terjadi yang melibatkan aparat akibat kasus sengketa tanah serta pembiaran kekerasan sekelompok orang kepada kelompok lain dalam menjalankan ibadah seperti yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini. Akar kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian jika ditelusuri dapat ditinjau dari tiga faktor yang mempengaruhi. Yang pertama adalah sejarah kepolisian sendiri yang sejak rezim Orde Baru digabungkan dengan TNI. Corak militerisme dengan disatukannya TNI dengan Polri sangat kental hingga sekarang, meskipun telah dikeluarkan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menandai pemisahan antara tugas POLRI dan TNI namun dalam prakteknya masih menemui banyak hambatan. Polisi yang seharusnya melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat seringkali menunjukkan sifat represifnya ketika berhadapan dengan aksi demonstrasi rakyat sipil, padahal dalam negara demokrasi seperti di Inggris atau Amerika Serikat, penanganan demonstrasi yang dilakukan aparat disana perlengkapan yang digunakan  adalah gas air mata, cairan merica serta menggunakan mobil water canon jika memang massa sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Ini tentu berbeda dengan aparat kepolisian kita yang seringkali menggunakan peluru karet bahkan peluru tajam ketika penanganan aksi demonstrasi apalagi setelah disahkannya Protap Kapolri no 1 tahun 2010, seakan menjadi legitimasi polisi untuk melakukan hal tersebut. Yang kedua adalah sistem recruitment aparat kepolisian yang masih banyak kekurangan. Untuk menjadi seorang polisi yang berada di garis depan syarat pendidikannya adalah setingkat dengan SMA, meski dibekali pendidikan selama 3-6 bulan di institusi kepolisian, namun dengan jangka waktu yang sesingkat itu tentu sangat kurang dibandingkan dengan materi pemahaman HAM dan demokrasi saja yang seharusnya diketahui polisi. Untuk tingkat perwira yang mensyaratkan sarjana pun kondisinya masih jauh dari ideal. Aroma korupsi ketika akan mendaftar sekolah perwira adalah rahasia umum yang diketahui masyarakat. Hasilnya tak jauh beda pula, adanya isu rekening gendut para perwira Polri yang terjadi awal tahun kemarin mengisyaratkan bahwa perlu reformasi yang menyeluruh di tubuh kepolisian, terutama sistem pendidikannya. Yang ketiga adalah masalah kesejahteraan polisi. Selama Era Reformasi meski terjadi peningkatan anggaran di bidang Hankam namun tidak terasa dampaknya hingga aparat keamanan yang paling bawah. Kondisi aparat kepolisian dengan gaji yang pas-pasan memenuhi kebutuhan keluarganya menjadikan efek psikologi banyak oknum aparat meluapkan emosinya ketika bertugas di lapangan . Menjadi tidak heran ketika polisi ditenggarai menerima uang “jasa keamanan” dari perusahaan-perusahaan multinasional untuk memenuhi kesejahteraannya. Ini tentu sangat berbahaya karena seharusnya polisi bersikap netral, tidak di bawah pengaruh modal perusahaan manapun supaya tidak terjadi konflik kepentingan ketika berhadapan dengan masyarakat. . Sebagaimana cita-cita reformasi yang salah satunya adalah menuju Indonesia yang demokratis serta berkeadilan, reformasi institusi kepolisian adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk terus memperjuangkannya termasuk reformasi dari tubuh kepolisian sendiri. Hal ini juga harus diimbangi oleh keinginan pemerintah dengan memperkuat peran serta wewenang Komisi Kepolisian yang selama ini belum bisa dirasakan keberadaannya untuk mereformasi institusi kepolisian secara menyeluruh. Semoga jargon polisi yaitu melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat dapat terwujud dalam waktu dekat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline