Lihat ke Halaman Asli

Alvin Revaldi

Pencinta buku

Analisis Makna Tradisi Manten Kucing Pemanggil Hujan

Diperbarui: 14 Juni 2023   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ANALISIS MAKNA TRADISI MANTEN KUCING PEMANGGIL HUJAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMUNCULKAN NILAI-NILAI BUDAYA TERPENDAM: KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

Budaya menjadi salah satu bentuk identitas yang unik dan menjadi suatu ciri khas dari daerah tertentu, yang mana budaya menjadi suatu cipta maupun karya dari sekelompok masyarakat yang diwariskan antar generasi. Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau tertekan sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi- tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu.

Jawa mewakili peradaban Indonesia, Jawa merupakan sebuah pulau di Indonesia yang berdekatan dengan Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Bali. Pulau Jawa kurang lebih mempunyai panjang 1.100 km dengan lebar rata-rata 120 km. Di dalam Pulau Jawa terdiri dari empat bahasa yang berbeda, yakni bahasa Melayu-Betawi, Bahasa Sunda, Bahasa Madura, dan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang dipraktekkan di dataran rendah, pesisir, utara Jawa Barat, dari Purwokerto sampai Tegal cukup berbeda dari Bahasa Jawa yang sesungguhnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa ialah orang yang bahasa ibunya adalah Bahasa Jawa.

Masyarakat Jawa memandang dirinya sebagai jagad cilik (mikrokosmos) yang merupakan bagian dari kesatuan jagad gedhe (makrokosmos). Perkembangan kesatuan yang telah dicapai jagad cilik akan berpengaruh terhadap perkembangan wilayah masyarakat sekitarnya, selanjutnya berpengaruh bagi alam lingkungannya bahkan jagad gedhe atau dunia. Pola pikir dan pandangan hidup orang Jawa pada dasarnya berkembang dari pemahaman ini. Orang Jawa menghayati kehidupan sejati. Perilaku mereka diwujudkan dalam bentuk ritual, mulai dari tradisi menanam padi, perbintangan, dan perikanan yang penuh dengan spiritual. Ritual merupakan wahana orang Jawa agar semakin dekat dengan Gusti (Tuhan). Lewat perilaku dan ritual orang Jawa yang memiliki sikap hidup dengan meyakini bahwa ada kekuatan lain di atas kekuatan dirinya (Endraswara, 2015).

Manten Kucing merupakan salah satu wujud dari kebudayaan atau tradisi di Tulungagung yang menjadi bukti takbenda hasil dari pemikiran manusia dalam suatu masyarakat yang dilaksanakan terus menerus dari dulu atau awal pelaksanaannya sampai saat ini. Manten Kucing juga dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang tidak lepas dari tiga gejala kebudayaan sesuai dengan gagasan J. J Honigmann yakni ideas, activities, dan artefacts. Yang pada awal terbentuk atau munculnya kebudayaan Manten Kucing ini dari ide atau gagasan dari seseorang yang kemudian menjadi konstruksi bersama oleh masyarakat dimana Manten Kucing tersebut muncul atau terbentuk. Selanjutnya diwujudkan dengan aktivitas atau tindakan masyarakat dengan menggabungkan berbagai macam kebudayaan tanpa menghilangkan inti dari kebudayaan yakni Manten Kucing tersebut serta dilaksanakan terus menerus sampai saat ini atau masa sekarang. Dan yang terakhir yakni berupa artefak atau bukti nyata yang dapat didokumentasikan dengan bagaimana tahapan-tahapan kebudayaan Manten Kucing tersebut dilaksanakan serta bagaimana jalannya kebudayaan Manten Kucing tersebut berlangsung.

Penelitian ini memfokuskan pada apa makna lain yang terkandung dalam tradisi Manten Kucing di Tulungagung, sehingga tradisi ini terus dilestarikan oleh masyarakat sampai sekarang. Permasalahan yang diambil dari penelitian ini adalah terkait makna dan nilai terpendam apa yang ada di dalam tradisi manten kucing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menghasilkan analisis kritis tentang makna dan nilai yang terpendam dalam tradisi manten kucing. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penyusun mengambil judul penelitian "Analisis Makna Tradisi Manten Kucing Pemanggil Hujan sebagai Upaya Untuk Memunculkan Nilai-Nilai Budaya Terpendam (Kajian Semiotika Roland Barthes)".

Sejarah Tradisi Manten Kucing

Tradisi Manten Kucing semula berawal dari kemarau panjang yang melanda Desa Pelem, serta banyaknya masyarakat (berprofesi petani) yang mengeluh karena mengalami gagal panen. Masyarakat mengeluh kepada kepala desa pada saat itu yakni Bapak Sutomejo atau masyarakat biasa memanggil Mbah Sutomejo. Kemudian Mbah Sutomejo menemui Eyang Sangkrah (seorang janda tua juga pendatang di desa tersebut) untuk pergi ke pemandian di bawah pohon jambu air dekat Air Terjun Coban Kromo, serta membawa kucingnya. Setelah disarankan oleh Kepala Desa (Mbah Sutomejo), Eyang Sangkrah kemudian pergi ke pemandian dekat Air Terjun Coban Kromo dengan membawa kucingnya untuk mandi disana.

Pada saat mandi dan memandikan kucingnya, tiba-tiba datang seekor kucing dengan jenis dan warna yang sama (kucing telon atau condromowo) tetapi berbeda jenis kelaminnya menghampiri Eyang Sangkrah. Kemudian Eyang Sangkrah pun memandikan kucing yang menghampirinya tersebut bersamaan dengan kucing miliknya. Tak lama setelah memandikan dua kucing tersebut, tiba- tiba hujan pun langsung turun dan seketika menghujani Desa Pelem beserta sawah-sawah yang dilanda kekeringan sebelumnya.

Mitos dan Eksistensinya di Masyarakat

Mitos berasal dari kata Yunani, yaitu mythos yang awalnya merupakan cerita-cerita yang diterima sebagai anugerah dewa-dewa dan cerita-cerita tersebut menyajikan model kepahlawanan dan keberanian (Makaryk, 1995: 595). Mitos beredar di masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang beragam. Hal ini sejalan dengan pengertian mitos menurut Harjoso (dalam Nasrimi, 2021: 2112), yaitu sistem kepercayaan dari suatu kelompok manusia yang berdiri atas sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang suci yang berhubungan dengan masa lalu. Adapun kecerdasan lokal dalam menanggapi mitos dapat menjadi potensi pendidikan mitigasi bencana di daerah-daerah rawan bencana. Kearifan lokal dengan adanya mitos-mitos yang tersebar di masyarakat, khususnya di Yogyakarta merupakan pengetahuan lokal terkait kondidi alam sebelum, saat, dan sesudah bencana datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline