Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, Antara China dan Jepang.
Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung ternyata memiliki cerita panjang dan berliku. Proyek ini seperti rebutan antara Jepang dan China.
Pertama Jepang yang menawarkan proposalnya. Investasi Jepang harus dijamin oleh pemerintah Indonesia. Tiba-tiba datang tawaran China tanpa menuntut jaminan dari pemerintah dan tidak akan membebani APBN Indonesia (Kompas.com, 28 Juli 2022).
Kini, Proyek kereta Api Cepat Jakarta Bandung yang semula diharapkan akan selesai pada tahun 2019, ternyata molor sampai dengan pertengahan 2023. Dan beban biaya tambahan akan ditanggung oleh APBN Indonesia. Apakah ada cedera janji atau wanprestasi dari pihak China?
Jika kita menelisik dasar hukum berupa perjanjian awal dan berdasarkan proposal, maka model tawaran China adalah Bisnis to Bisnis (B to B), bukan Government to government (G to G).
Semua resiko bisnis ditanggung oleh mereka sendiri, tanpa beban pemerintah. Konsorsium BUMN China dengan Konsorsium BUMN Indonesia.
Jokowi memilih China karena tidak ada jaminan dari pemerintah Indonesia dan tidak akan membebani APBN Indonesia. Bahkan dibarengi janji aka nada transfer teknologi ke Indonesia. Ini yang tidak ditawarkan oleh Jepang.
Tawaran Jepang meminta jaminan pemerintah Indonesia. Dan ini tentu akan beresiko menjadi beban APBN Indonesia, jika proyek ini bermasalah atau membawa dampak kerugian. Mungkin Jokowi menolak tawaran dari Jepang, karena hal tersebut. Jaminan pemerintah dan membebani APBN.
Lalu, kenapa sekarang China meminta pemerintah Indonesia untuk menanggung kerugian akibat pembengkakan biaya pembangunan dan harus membebani APBN? Janji awalnya tidak ada jaminan dari pemerintah Indonesia dan tidak membebani APBN Indonesia.
Proyek B to B seharusnya tidak boleh membebani pemerintah. Murni bisnis. Perjanjian proyek Bisnis to Bisnis tentu berbeda dengan G to G. Apakah pemerintah Indonesia akan mau menjamin dan membebani APBN kita untuk menaggung beban kelebihan biaya yang sampai mencapai 27 triliun?
Pertaruhannya memang menjadi sulit. Proyek ini sudah berjalan sedemikian rupa. Namun penyelesaiannya yang berbelit-belit membuat proyek ini serba terlambat sampai 4 tahun dari rencana 2019 menjadi 2023.