Doa adalah sarana komunikasi manusia dengan Tuhan. Doa juga merupakan nafas iman manusia. Doa yang berupa permohonan dan mengucap syukur hanyalah kepada Tuhan. Dan Tuhan jugalah yang menjawab doa. Walaupun jawaban doa tidak langsung jatuh dari sorga, namun bisa juga melalui dunia ini atau melalui orang lain. Doa adalah menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.
Ketika doa menyangkut politik, maka itu disebut menjadi doa politik. Nah ketika doa ini berinteraksi atau berhubungan dengan politik, maka politiknya yang akan lebih menonjol dari doanya. Bukan lagi hubungan pendoa dengan Tuhan yang dominan, namun siapa pendoanya, apa yang didoakannya dan siapa yang terkait dengan doa tersebut.
Nah, masalahnya menjadi masalah politik. Untuk Indonesia, masalah seperti ini bisa menjadi masalah yang ruwet dan rumit. Yang semula sederhana hanya sepotong doa berubah menjadi masalah politik yang melibatkan partai politik dan para penguasanya.
Demikianlah mungkin kisah sepotong doa dari M Taufik sang Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Tokoh yang membesarkan Partai Gerindra di Jakarta dengan menjabat Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta dua periode 2012-2020.
Bisa membuat Gerindra menjadi besar di DPRD DKI Jakarta dengan dua Pemilu, 2014 dan 2019. Sebagai barometer politik untuk Indonesia, Gerindra DKI Jakarta telah membuktikan keunggulannya di bawah kepemimpinan M Taufik.
Berbagai pertanyaan soal rencana pencopotan M Taufik dari jabatan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta bermunculan. Apa sebabnya? Apa asal muasalnya? Apa api penyebab asapnya? Adakah gesekan internal partai?
Adakah kesalahan fatal dari M Taufik? Benarkah penyebabnya hanya sepotong doa yang dilontarkannya untuk Anies menjadi Presiden? Apakah kesalahan melontarkan sepotong doa untuk Anies Baswedan menjadi presiden sedemikian fatal bagi Gerindra sehingga berbuntut pencopotannya dari Wakil Ketua DPRD?
Mungkin dengan logika berpikir akal sehat dan politik rasional, hal itu tidak mungkin. Apalah arti sepotong doa, kok bisa berbuntut pencopotan jabatan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.
Nah disinilah mungkin terjadi salah tafsir dan logika terbalik. Dan disini pula bisa kita temukan beberapa fenomena atau gejala politik dan memahami dunia politik Indonesia yang masih aneh dan masih belum menunjukkan bahwa partai politik dan permainan politik yang belum sepenuhnya menggunakan logika politik demokrasi modern yang mengandalkan rasionalitas dan objektifitas.
Pola politik paternalistik bangsa ini masih dominan sebagai warisan dari pola berpikir kerajaan kita sebelum merdeka. Pola kepemimpinan yang kharismatik dan masih tersentralistik masih dominan dalam perilaku pemimpin partai politik seperti Gerindra. Penggabungan jabatan Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina dalam satu tangan di Gerindra cukup mengindikasikan sekaligus membuktikan hal tersebut.
Lalu apalah hubungan sepotong doa politik untuk Anies Baswedan menjadi Presiden dari seorang M Taufik yang menjabat Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dengan gejala dan gaya kepemimpinan politik tadi? Seharusnya M Taufik sebagai bagian dari Partai Gerindra harus paham dinamika dan pola paternalistik tadi.