Lihat ke Halaman Asli

Aldentua S Ringo

Pembelajar Kehidupan

Revisi Kesadaran Hukum yang Urgen, Bukan Revisi UU ITE

Diperbarui: 17 Februari 2021   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revisi Kesadaran Hukum Yang Urgen, Bukan Revisi UU ITE.

Pernyataan Presiden Jokowi tentang revisi UU ITE mendapat perhatian dan diskursus yang hangat.  UU ITE yang dianggap memiliki pasal karet yang bisa digunakan pemerintah untuk membungkam para pengritik seakan mendapat angin segar untuk melepaskan dari tuduhan pasal karet tersebut.

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah benar UU ITE sumber ketidak adilannya? Apakah pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE yang sering digunakan pemerintah untuk membungkam orang yang memberikan kritik kepada pemerintah? Mari kita simak pernyataan presiden yang mengawali dengan kata 'kalau'.

   "Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-undang ini," kata Presiden Jokowi dalam Pengarahan kepada peserta Rapim TNI-Polri di channel YouTube Sekretariat Presiden 15 Pebruari 2021.

Sebelumnya Presiden menjelaskan bahwa TNI-Polri harus mendisiplinkan masarakat dengan protokol kesehatan 3 M dan 3 T. Juga menegaskan perlunya TNI Polri menjaga stabilitas politik dan keamanan serta ketertiban. Menghormati demokrasi dan membuat kepastian hukum yang seadil-adilnya.

Sesudah pernyataan itulah disebutkan masalah UU ITE. Dengan UU ITE semakin banyak warga yang saling melaporkan dengan menggunakan UU ITE. Presiden memahami bahwa UU ITE yang dibuat tahun 2008 di era SBY menjadi presiden agar masyarakat digital kita sehat, agar bersih, agar beretika, dan penuh sopan santun. Namun dalam implementasinya seringkali terjadi multi tafsir yang mengakibatkan masalah tersendiri.

Lalu kita bertanya, apakah UU ITE ini yang menjadi sumber ketidak adilan itu? Apakah jika warga yang merasa dirugikan boleh melaporkan orang yang diduga telah melakukan pencemaran nama baik atau penghinaan atau berita bohong terhadap dirinya atau kelompoknya?

Apakah betul seperti yang disampaikan Presiden Jokowi masalahnya adalah dalam implementasi UU ITE yang sering multi tafsir? Semua pihak bisa berpendapat dan bisa berbeda pendapat juga tentang hal ini. Tetapi sesungguhnya, apakah keberatan masyarakat, termasuk yang menamakan dirinya dalam kelompok oposisi kepada pemerintah agar UU ITE ini direvisi? Yang mana yang perlu direvisi? UU ITE? Implementasi? Atau dibumihanguskan UU ITE ini?

Akar masalahnya bukan di UU ITE ini. Baik isi dan implementasinya. UU ITE ini dibuat untuk menjaga ruang digital kita menjadi bersih, agar sehat, agar beretika dan penuh sopan santun, tata krama dan produktif.

Bagaimana dulu kasus Saracen dan berbagai kasus yang membuat isu SARA dalam Pilkada dan Pilpres yang menghiasi ruang digital kita menjadi kotor, jorok dan sangat menjijikkan. Saling memaki, mencaci dan dipenuhi ujaran kebencian. Politisasi agama dan berbagai ragam.  Inilah yang mau ditertibkan dengan UU ITE ini.

Demokrasi, yang sering dibuat sebagai tameng untuk melakukan segala hal sebebas-bebasnya adalah salah kaprah. Kebebasan berpendapat  sering dipakai untuk sebebas-bebasnya memaki dan mencaci serta menyampaikan ujaran kebencian di ruang digital kita. Itukah demokrasi dan kebebasan berpendapat yang kita anut di negeri ini? Bukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline