RUU PKS mengalami nasib tragis, terjegal karena dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. RUU PKS ini ditolak PKS mewakili Islam Konservatif yang berpendapat bahwa RUU ini dianggap mempromosikan seks bebas dan perilaku seks menyimpang.
Usulan awal RUU PKS ini adalah dari Taufik Basari yang didukung oleh Fraksi Nasdem. Setelah diajukan ke Baleg, disetujui masuk menjadi Prolegnas 2020. Setelah disahkan dalam Sidang Paripurna, statusnya berubah. Dari usulan anggota DPR Fraksi Nasdem menjadi usulan Komisi VIII atas permintaan dari Ketua Komisi VIII.
Setelah menjadi usulan Komisi VIII, RUU PKS ini menjadi mandek. Ada apa? Padahal Taufik Basari dan Fraksi Nasdem sebagai pengusul awal akan menyiapkan Naskah Akademisnya, namun setelah menjadi usulan Komisi VIII rencana menjadi kandas. Naskah Akademisnya dimana?
Apa yang bisa kita lihat dalam proses pengajuan RUU PKS di DPR ini menimbulkan pertanyaan, apakah Pimpinan Komisi VIII yang mengambil alih usulan ini dari usulan Anggota Fraksi Nasdem merencanakan untuk memandekkan dan membuat RUU ini kandas? Apa kepentingan politiknya? Apakah Fraksi Nasdem akan merelakan usulan awalnya ini akan amblas dari Prolegnas Prioritas 2020, tanpa perlawanan? Apakah usulan ini akan dipasrahkan amblas?
Urgensi RUU PKS
Pertama, untuk menjawab tantangan penegakan hukum terhadap korban kekerasan seks menjadi kebutuhan yang mendesak. Ketertinggalan norma hukum pidana dalam KUHP untuk mengikuti perkembangan kejahatan dan kekerasan seksual membutuhkan pengaturan khusus (lex specialist). RUU PKS ini menjadi spesialis dari KUHP.
Kedua, ada istilah ubi sociates ibi ius, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Ini menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat selalu diikuti pengaturan hukum. Perkembangan masyarakat seringkali terlalu jauh meningkat tanpa bisa diikuti pengaturan norma hukum untuk mengikuti perkembangan masyarakat tersebut.
Hukum selalu ketinggalan dari perkembangan masyarakat, termasuk kejahatan dan kekerasan seksual. RUU PKS ini diharapkan bisa mengejar ketertinggalan hukum dari perkembangan masyarakat tersebut.
Ketiga, data statistik kekerasan seksual yang meningkat terus menerus membutuhkan payung hukum yang bisa mengatur hal khusus tersebut dan memerlukan payung hukum yang baru.
Dengan demikian perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual bisa berjalan dengan payung hukum baru tersebut. Unsur-unsur dalam pasal KUHP sudah sangat tertinggal jauh. RUU PKS ini bisa menjadi payung hukum yang baru untuk menjawab tantangan tersebut.
Kekerasan seksual ini harus segera dihentikan laju perkembangannya dengan aturan baru tersebut sebagai payung hukumnya. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual seharusnya menjadi prioritas utama, bukan membalikkan dengan argumentasi penolakan seakan RUU PKS ini mengumbar atau mempromosikan seks bebas dan penyimpangan seks.