Lihat ke Halaman Asli

Aldentua S Ringo

Pembelajar Kehidupan

Sang Jubir yang "Jabir"

Diperbarui: 30 Mei 2020   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sang Kakek kelihatan seperti kesal di sore hari. Sang Cucu mendekat seakan tak mendapat perhatian. Mata kakek tertuju ke HP seperti sedang serius membaca sesuatu.

   "Baca apa kek? Serius amat?" kata cucu menggoda.

   "Ini ada orang yang menjengkelkan terus. Bicara PKI, bicara menuduh pemerintah mencla mencle, planga plongo. Katanya dia bukan lagi jubir ketua umumnya, bukan jubir partainya, tapi jubir rakyat, tapi kepentingannya aja yang dibicarakannya, tak ada nasib rakyat yang dipikirkannya," kata kakek kesal.

   "Ha..ha..ternyata kakek juga sudah kena darah rendah ya. Kalau marah baru wajahnya berseri," goda cucunya.

   "Kau jangan main-main dulu, ini serius.  Ustadz melawan petugas dibelain orang ini, napi dipindah ke Nusakambangan diributin, entah apa lagi," kata kakek.

   "Memang tugasnya kan ribut aja kek. Maunya mereka ini kan negara ini ribut dan rusuh, biar mereka berperan. Dulu juga demo ke jalanan mereka ikut. Padahal anggota dewan. Jadi tidak usah dipikirin kek," kata cucu.

   "Kalau di kampung ini sudah disebut ini si Jabir," kata kakek.

   "Apa arti Jabir?" kata cucu.

   "Jabir itu ya cerewet tak karuanlah, tukang ngomellah, nyinyir , semualah," kata kakek.

   "Kalau begitu sebut saja dia Jubir yang Jabir saja," kata cucu.

   "Kau suka sekali bikin gelar orang," kata kakek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline