Mungkin judul ini terasa paradoks. Yang biasa orang yang meleklah menuntun Sang Tunanetra. Kok ini terbalik. Paradoks. Ya bisa dikatakan demikian. Namun judul diatas adalah sebuah pengalaman nyata. Jadi bukan fiksi apalagi ilusi. Ini riil, bukan mimpi. Bagaimana ceritanya?
Ketika itu, kami dari kampus melakukan Kunjungan Kasih dalam rangka Bakti Paskah. Kami memilih sebuah Panti Tunanetra yang merupakan pusat pelatihan para Tunanetra agar bisa hidup mandiri tanpa ketergantungan terhadap orang lain.
Panti Tunanetra ini mempunyai beberapa sarana latihan seperti membuat sabun, membuat sapu dan keset kaki, memelihara ayam, itik dan ikan di kolam. Berbagai ketrampilan ini dilatih sampai mereka mampu mandiri.
Sebagaimana kebiasaan kunjungan, dilakukan dulu acara formal, baru dilanjutkan acara ramah tamah.
Setelah semua rangkaian acara ramah tamah dan pemberian bingkisan selesai, kami memasuki kunjungan ke tempat pelatihan mereka yang berada di kompleks panti tersebut. Panti cukup luas dan berada di pinggir jalan raya besar. Setiap anak mendampingi satu orang mahasiswa. Karena jumlah kami yang datang tidak terlalu banyak, jadi mereka bisa mendampingi kami satu persatu.
Saya ditemani satu orang dan kami berjalan bersama sesuai petunjuk pimpinan, Sang Tunantera ini akan membawa saya ke tempat pelatihan beternak ayam.
Kami keluar dari ruangan pertemuan menuju taman belakang tempat sarana latihan peternakan ayam. Menjelang sebuah jembatan kecil yang di bawahnya ada kolam pemerliharaan ikan, Sang Tunanetra tiba-tiba memegang tangan saya erat sekali.
"Sebentar bang, hati-hati jalannya. Di depan ada jembatan kecil, jangan sampai abang terjatuh ke kolam pemeliharaan ikan. Saya akan menuntun abang melewatinya," katanya.
Saya bingung. Apa maksudnya? Dikiranya saya nggak bisa melihat ya? Pikirku dalam hati. Tapi kuikuti saja. Dan benar, dia menuntunku melewati jembatan kecil itu. Sangat presisi. Dia melangkah di depan sambil memegang tanganku. Sempat saya ragu. Lalu memandang wajahnya. Benar, dia tunanetra. Kenapa begitu persis dia menuntun saya dan melewati jembatan kecil itu?
Di dalam mobil pulang, saya mencatat di buku harianku.
"Oh Tuhan, hari ini saya mendapat pengalaman dan pelajaran berharga. Saya orang yang melek, ternyata bisa dituntun seorang tunanetra. Terbalik segala logika berpikirku hari ini. Seharusnya aku yang menuntun dia, namun hari ini dia yang menuntunku. Ajar aku untuk menghargai orang yang berkekurangan secara fisik, ternyata unggul dalam hal lainnya. Matanya tidak bisa melihat, tapi mata hatinya bisa melihat dan menuntun saya melewati jembatan itu dengan presisi yang akurat." demikian catatan harianku.