Lihat ke Halaman Asli

Aldentua S Ringo

Pembelajar Kehidupan

Refleksi Harkitnas, Terserah atau Bangkit?

Diperbarui: 20 Mei 2020   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: KOMPAS

Penjajahan dalam rentang waktu panjang membuat Nusantara kita berserah dan seakan berdamai dengan penjajahan itu sendiri. Politik devide et impera, pecah belah dulu, baru kuasai,  yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda sangat ampuh membuat kotak-kotak kedaerahan yang berbentuk kerajaan, semakin efektif untuk membungkam perjuangan menuju kemerdekaan.

Ada tiga gerakan yang dilakukan pemuda Nusantara yang cukup berpengaruh membentuk arah perjuangan menuju kemerdekaan itu. Pertama Gerakan Budi Oetomo 1908. Kedua, Kongres Pemoeda yang melahirkan Soempah Pemoeda 1928. Ketiga, Gerakan Penculikan Soekarno Hatta dan pemaksaan yang dilakukan oleh  pemuda untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan kita pada tahun 1945 yang terkenal dengan peristiwa Rengasdengklok.

Penulis tidak ingin membahas sejarah panjang dan detail perjuangan itu, namun sekedar membawa kilas balik singkat dan relevansinya dengan persoalan kita kini  dengan suasana dibawah penjajahan Sang Covid-19 yang sangat menyiksa ini, serta membuat keterbelahan para elite kita dalam menanganinya. 

Seakan berlomba, berkompetisi, cari panggung dan saling mengintip kesalahan dan membangun citra masing-masing untuk kepentingan sesaat atau kepentingan jangka panjang.

Hari ini, 20 Mei, biasanya dirayakan dengan meriah sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kenapa harus dirayakan Hari Kebangkitan Nasional ini? Apakah nilai dan semangat yang bisa kita petik dari peringatan itu untuk kita refleksikan menghadapi masalah bangsa  dan dunia sekarang ini dengan virus corona.

Setelah perjuangan panjang para pimpinan kerajaan di daerah atau para pemimpin perjuangan di daerah telah berlangsung ratusan tahun sejak dijajah Belanda bermuara kepada kegagalan. Single fighting, berjuang sendiri, ternyata belum membuahkan hasil, berupa kemerdekaan. 

Bisa kita lihat bagaimana perjuangan para pemimpin di daerah yang kini diangkat dan kita kenang sebagai pahlawan nasional seperti Teuku Umar, Tjut Nya' Dien, Raja Sisingamangaraja XII, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pattimura, dan berderet-deret lagi para pahlawan kita di daerah yang berjuang merebut kemerdekaan dan melepaskan diri dari penjajahan harus gugur dengan pengorbanan harta, bahkan nyawa, namun kemerdekaan belum kunjung tiba.

Para pemuda kita yang mengikuti pendidikan di STOVIA dan sebagian lagi ada yang dikirim sekolah ke Belanda mempunyai kesadaran baru. Perjuangan daerah secara sendiri-sendiri telah banyak korban, namun belum membawa  hasil. 

Penjajahan masih terus berlangsung. Eksploitasi hasil bumi ke Belanda berjalan terus. Para penjilat terus berkuasa menindas dan menghisap rakyat. Pembayaran pajak yang tinggi dan berbagai penderitaan masyarakat seakan tak berkesudahan.

Kesadaran para pemuda kaum terdidik ini membangun sebuah paradigma baru, persatuan. Sudahi perbedaan dan bangunlah persatuan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Gerakan pemikiran dan tindakan membangun persatuan itu berjalan, namun tidak bisa berlangsung cepat. 

Tahapan gerakan kebangkitan nasional yang diprakarsai Boedi Utomo  1908 baru bisa ditindaklanjuti dengan semangat persatuan yang lebih konkrit dengan Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928, dimana para pemuda kita bersoempah, Bertanah Air Satu, Berbangsa Satu dan Berbahasa Satu, INDONESIA. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline