Lihat ke Halaman Asli

alda alamul huda

mahasiswa UIN Walisongo

Cara Menghadapi Quarter Life Crisis di Usia Muda

Diperbarui: 20 Agustus 2021   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Secara umum tahapan yang dilalui adalah bayi,kanak kanak ,remaja,dewasa,dan lansia. Masing masing dari setiap tahapan perkembangan memiliki karakteristik dan tugas yang berbeda-beda. Melihat adanya perbedaan karekteristik dan tugas perkembangan, salah satu masa yang dianggap penting dan menjadi perhatian banyak kalangan adalah masa peralihan dari remaja ke dewasa.  menurut papalia dan feldman pada era ini orang sudah mulai mengeksplorasi diri memulai hidup terpisah dari orang tua dan mandiri dan mulai dikembangkan sistem atau nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya. Masa dimana induvidu mulai mengeksplorasi dari dan lingkungan disebut masa emerging adulthood respon induvidu didalam menghadapi masa emerging adulthood berbeda-beda.

Banyaknya pilihan yang tersaji dari lingkungan eksternalnya dan kebingungan cara menghadapi untuk memutuskan mana yang dirasa sesuai (pilihan yang benar) cenderung membuat stres Ada individu yang merasa senang dan antusias dan tertantang untuk menjelajahi kehidupan baru yang belum pernah dirasakan, namun ada juga yang merasakan kecemasan, tertekan dan hampa Individu yang di dalam melewati tahapan perkembangannya tidak mampu merespons dengan baik berbagai persoalan yang dihadapi, diprediksi akan mengalami berbagai masalah psikologis, merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian dan mengalami krisis emosional atau yang biasa disebut dengan quarter-life crisis.

Menurut Fischer  quarter-life crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an. qMendukung pernyataan tersebut Nash dan Murray  mengatakan bahwa yang dihadapi ketika mengalami quarter-life crisis adalah masalah terkait mimpi dan harapan, tantangan kepentingan akademis, agama dan spiritualitasnya, serta kehidupan pekerjaan dan karier. Permasalahan-permasalahan tersebut muncul ketika individu masuk pada usia 18-28 tahun atau ketika telah menyelesaikan pendidikan menengah, contohnya mahasiswa.

Menurut Alifandi lompatan akademis yang sering dialami oleh mahasiswa ke dunia kerja terkadang menimbulkan luka dan ketidakstabilan emosi sehingga mengalami krisis emosional Kurangnya penghayatan, kepercayaan dan partisipasi aktif pada kegiatan keagamaan yang dianut dapat menyebabkan berbagai persoalan yang telah disebutkan, khususnya depresi dan kehilangan tujuannya Krisis yang dialami mahasiswa disebabkan oleh berbagai tuntutan kehidupan yang dihadapi. Umumnya penyebab krisis yang utama adalah karena adanya tuntutan dari orang tua terhadap langkah apa yang akan diambil di masa mendatang dan stres karena masalah akademik. Telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah negara kolektivistik dimana penilaian dan tanggapan dari lingkungan adalah hal yang dianggap penting bahkan dapat memengaruhi bagaimana individu berperilaku.

Tantangan lain yang turut berkontribusi terhadap krisis emosional yang dialami oleh mahasiswa adalah kompleksnya masa transisi yang penuh dengan ketidakpastian sehingga menimbulkan depresi bagi individu yang mengalami.Hal ini diperparah dengan pengalaman negatif seperti berbagai penolakan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan pribadi, harga diri (Robinson, 2018). Untuk mengatasi kondisi ini banyak sekali faktor yang dapat menjadi filter agar individu lebih kuat menghadapi quarter-life crisis yang dialami sehingga dapat melaluinya dengan baik

Umumnya penurunan penghayatan terhadap agama yang dianut banyak terjadi pada kalangan muda di usia 18-24 tahun (Bryant 2010) kondisi ini identik dengan kehidupan mahasiswa oleh peyang juga turut berada pada rentang usia 20-an artinya berdarsarkan pemaparan tersebut mahasiswa rentan mengalami berbagai persoalan psikologis yang disebabkan oleh penurunan tingkat penghayatan terhadap agamanya (religiusitas) menurut suhardiyanto mendefisinikan religiusitas sebagai bentuk hubungan pribadi dengan sosok diyakini (tuhan) dengan kosukuensi munculnya hasrat untuk taat dan patuh terhadap apa yang dianjurkan dan yang di larang nya mendukung pernyataan tersebut religiuitas dianggap sebagai tingkat pengetahuan,kenyakinan,pelaksanaan ibadah dan akidah,serta penghayatan atas agama melalui amala perbuatan

Penyebab quarter life crisis tidak hanya karena usia yang sudah memasuki seperempat abad kehidupan. Namun faktor keluarga dan lingkungan juga turut menyeret seseorang masuk dalam krisis ini. Ada pun beberapa faktor pemicu lainnya, antara lain:

  1. Rasa percaya diri yang rendah
  2. Pemikiran yang terlalu jauh mengenai masa depan
  3. Adanya ekspektasi yang terlalu tinggi
  4. Kurangnya dukungan dari keluarga, teman, dan lingkungan sekitar
  5. Suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain
  6. Kurangnya motivasi dari diri sendiri
  7. Terlalu nyaman dalam zona aman
  8. Adanya kenyataan yang bertolak belakang dengan nilai dan harapan
  9. Ada keinginan menjadi orang lain akibat media sosial

Benturan antara impian yang tak sejalan dengan kenyataan serta gejolak ketidakpastian akan masa depan memang dapat membuat orang terjebak dalam lingkaran krisis ini. Tapi jangan sampai hal tersebut menghentikan langkahmu untuk jadi pribadi yang lebih baik. Apapun yang terjadi, kamu tetap berharga. Apapun yang telah dilakukan, diusahakan, dan yang telah kamu lalui, tidak ada yang sia-sia. Semuanya pasti memiliki arti dan pelajarannya sendiri. Jadi jangan menyerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline