Lihat ke Halaman Asli

Prosa Terlambat

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang pada akhirnya sudah hamper 69 tahun kita merdeka. Waktu sudah hamper pula beranjak 18 Agustus 2014. Hingar bingarnya dirgahayu mungkin masih bisa didengar lewat mikrofon – mikrofon kampong, padahal ini sudah malam, besok hari senin pula. Ah, tak ayalnya ramadhan, 17 an ini pun pasti selalu akan saya rindukan.

Bicara tentang momen 17 an ini aku jadi ingat kata kawanku orang Bandung, dia katakan “17 an di gunung udah bosen, di pantai apalagi, kalo di surga, otw…. (Abbey, 2014). Hahaha ketawa benar aku dengarnya. Ketawa tapi juga berdoa semoga benar kapan – kapan kami bisa rayakan 17 an di surganya hari akhir, tapi juga jangan cepat – cepat, aku masih senang menikmati hidup. Tapi sebenarnya pun bang, kita ini sudah nikmati 17 an di surganya dunia.

Maaf, mungkin sekarang saya sedang dimaki orang dan dikatakan muluk atau tutup mata dengan pahitnya sekitar. Saya katakan, tidak bang, saya juga tahu di Nganjuk ada satu keluarga yang terpaksa makan bangkai. Saya tau juga di Ponorogo ada kampong tunagrahita. Atau barangkali tak usah jauh, tiap hari di sekitaran desa saya ada seorang laki – laki yang berjalan ngelantur dengan pakaian tak layak pakai, dia memang tidak waras, mungkin korban krismon 98 atau korban ketidakpedulian sekitar. Artinya saya tau bang, meski tidak banyak pula yang bisa saya sebutkan, karena tidak baik saya sebutkan yang buruk – buruk di momen bahagia orang Indonesia. Saya cuma ingin katakan, saya bukan kaum muluk – muluk.

Dan saya juga katakan, saya tidak main – main mengatakan Indonesia kita ini tanah surga. Meskipun saya katakan ini, sambil saya tahan juga air mata yang mau jatuh.

Tapi bersyukurlah bang kepada Tuhan, kita diberi tanah yang luar biasa indah garis pantainya. Yang gunungnya masih gagah membelah langit, dan saya ingat pertama kali ketika saya ikut mendaki, duduk kelelahan di 3204 mdpl, dan saya lihat matahari yang muncul di ufuk timur dari baliknya awan – awan, benar – benar luar biasa. Mungkin, merasakan sensasi indah dan luar biasanya itu bisa kita dapatkan kalau nanti kita mendaki gunung yang lain di luar negeri. Atau sensasi snorkling yang luar biasa bisa juga kita dapat di lautan indah negeri lain. Kita bisa dapatkan indahnya mereka di belahan bumi lain, tapi ketika kita rasakan semua sensasi itu di negeri kita sendiri, di tanah milik kita sendiri, maka kita akan rasakan kebahagian yang lebih – lebih lagi. Mengapa? Karena ini semua punya kita. Kita dititipi Surga oleh Tuhan. Surga yang sudah dimerdekakan.

Maka biarlah bang, biarkan saya merenung sebentar di malam 17 Agustus, saya hanya ingin merenung saja. Biarkan diskusi humaniora atau kelanjutan hidup kita, aku pikirkan dan lakukan lain kali. Sekarang biarkan aku merenung supaya aku bisa terus merasakan memiliki negeriku sendiri sampai dirgahayu berikutnya. Agar aku tidak tumbuh menjadi orang yang ingin merusak bangsanya sendiri.

Sidoarjo, 17 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline