Sudah bertahun-tahun setiap merayakan Idul Fitri, dua orang mantan tetangga kami bersuku Tiongha (China) beragama Kristen Khatolik selalu rutin memberi kami satu kes Air kaleng. Padahal kedua tetangga itu sudah lama pindah. Kenapa mereka masih tetap mengingat kami? Dari cerita nenek dulu sewaktu mereka masih menjadi tetangga, nenek selalu mengantarkan sedikit lauk pauk yang dibikin untuk lebaran apakah itu rendang, lontong, opor dan lain-lain ke rumah mereka. Karena sikap nenek tersebutlah akhirnya mengapa mereka menganggap kami saudara. Jika nenek sakit dan mereka mendengar mereka pasti membezuk dan memberi bantuan. Tiap tahun selalu rutin mengirimkan air kaleng ke rumah diantar anak atau cucunya.
Seperti halnya saya punya banyak teman beragama non muslim, kami selalu akur dan saling bantu membantu bahkan sudah seperti sodara. Tetangga-tetangga kami di Komplek yang beragama Kristen selalu datang berlebaran ke rumah, begitu juga saya saat mereka natalan. Mereka tak pernah terusik dengan lantunan azan, ceramah, bacaan ayat suci Al Quran yang diperdengarkan dengan Toa di mesjid komplek. Begitu juga kami tak terusik dengan sempitnya jalan komplek karena banyaknya warga dari tempat lain datang ke rumah salah satu rumah warga Kristen di komplek kami untuk ibadah pada malam hari. Kisah romantisme seperti itu saya yakin bukan hanya terjadi pada keluarga saya. Ribuan bahkan jutaan kisah romantik antara Muslim dan Non Muslim pasti selau tercipta dalam kehidupan rakyat negeri ini
Hari Pertama Idul Fitri tahun 2015 ini kita disuguhi berita yang sungguh menggusik hati dari negeri kecil yang jauh di pulau Papua, Tolikara. Mesjid dan beberapa kios Muslim di bakar oleh sekelompok Massa pada saat Muslim disana sedang melaksanakan Sholat Idul Fitri. Mereka adalah jamaat Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) Tolikara. Pemicunya adalah seminggu sebelumnya ada edaran dari pengurus GIDI agar Muslim tidak melaksanakan kegiatan keagamaan di daerah mereka pada hari itu karena mereka juga sedang melaksanakan kegiatan serupa yang berskala Internasional, larangan tersebut juga berlaku bagi Kristen di Luar GIDI. Larangan lainnya adalah melarang Muslimah memakai Jilbab. Aneh memang!
Sebenarnya baik di Muslim maupun Non Muslim selalu ade Sekte atau aliran yang menyimpang seperti ini. Menciptakan semangat permusuhan ke umat lain yang tak sepaham dengan mereka. Dengan merasa lebih superior maka berhak mengatur-atur kegiatan keagamaan kelompok lain. Sayangnysa sekte-sekte penebar permusuhan seperti ini masih bebas berkembang di Indonesia, padahal ulah mereka sering mengakibatkan gesekan antar umat bahkan pertumpahan darah yang memakan ribuan korban nyawa tak bersalah.Oleh karena itu Negara berperan penting dalam hal ini. Sekte-sekte pemicu permusuhan dan konflik harus di larang tumbuh di Indonesia. Jika masih ngeyel tangkap dan jebloskan ke penjara.
Menimbang kasus di Tolikara yang merupakan setitik noktah kecil di Nusantara ini, sebagai umat yang cinta damai maka umat Muslim seluruh Indonesia tidak usahlah bereaksi keras dengan membalas hal serupa. Misalnya ikut membakar gereja-gereja, mencaci maki dan sebagainya. Lebih baik bersatu mengumpulkan dana membangun mesid di Tolikara kembali, akan lebih mulia lagi kalau bantuan itu juga diperuntukkan bagi jemaat GIDI. Agar mereka tahu bahwa Islam datang bukan untuk bermusuhan tapi untuk persaudaraan.
Insiden Tolikara cukup dijadikan perhatian bagi pemerintah dan pihak kemananan. Jangan sampai-sampai hal-hal seperti ini terulang kembali. Mari kita persatukan seluruh umat di Negeri ini, untuk membangun Indonesia yang lebih baik, aman, damai dan sejahtera.
Salam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H