Lihat ke Halaman Asli

Mustafa Kamal

TERVERIFIKASI

Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

(FFA) Bunga dan Ilalang

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya : Mustafa Kamal (Nomor peserta: 111)

Namaku mawar. bentuk tubuhku langsing dan ada duri-duri tajam yang unik disekujur tubuhku. Jika ada orang yang tak hati-hati menyentuhku maka tangannya akan terluka oleh duri tajam itu. Hebat kan? Lebih hebat lagi ibu dan kakak-kakakku, mereka punya mahkota berupa bunga yang indah berwarna merah. Kata ibuku kami adalah bungan kesayangan dewi venus, dewi cinta yang terkenal itu. hihi...keren dah. Makanya tak heran, setiap orang yang melihat keluarga kami selalu berdecak kagum.

Di suatu pagi yang cerah aku bersama ibu, serta kakakku sedang asyik memasak di dapur menggunakan sinar matahari. Berfotosintesis, itu istilah kerennya. hehe. Ketika masakan dah selesai kamipun dengan riang gembira menyantap makanan enak hasil racikan ibuku. Ibuku memang hebat, tiada tadingannya. Kami cinta ibu selalu.

Tiba-tiba, kami dikejutkan dengan suara ribut-ribut. Ibu Edi pemilik lahan yang kami tinggali ini, datang menuju ketempat kami bersama seorang nenek berkacamata yang sudah renta. Oiya aku ingat namanya nenek Marul. Neneknya ibu Edi.  "Potong aja batangnya, nek? Tinggal tanam saja, bisa hidup kok walo  tanpa akar."

Mata kami terbelalak. Teringat kakakku yang dulu yang juga dipotong oleh saudaranya Ibu Edi yang lain, tak salah namanya Buk Niken, entah bagaimana nasib kakakku itu sekarang. Kabar terakhir dari sang angin, kakakku bahagia dengan anak-anaknya di rumah bu Niken. Waa..aku dah punya keponakan. Jadi kangen mereka. Pasti asyik bermain dengan ponakanku  yang lucu-lucu.  Hiks... !

Lamunanku terhenti, ketika melihat wajah ibu yang penuh kecemasan, juga kakak-kakakku.  Aku menoleh kearah pandangan mata mereka. Sebuah gunting menjepit tubuhku. Aku pucat, keringat dingin mengucur deras ditubuhku. Aku berteriak minta tolong."toolooooong...ibu...kakak!"

Tapi, ibu dan kakakku tak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bisa menggoyangkan tubuhnya, berusaha menarikku. Goyangan itu  ternyata berakibat melukai tangan nenek itu. "Aduh...durinya tajam juga ya? teriak nenek Marul.Tapi sayang, tubuhku sudah terpotong berpisah dari tubuh ibuku. Aku menangis sejadi-jadinya. "huuuuaaa.......!  Kulihat, Ibu dan kakak-kakakku juga ikut menangis. Aku dimasukkan kedalam kantong plastik hitam, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi, aku pingsan karena kekurangan udara segar.

Aku baru tersadar ketika air menyirami tubuhku. Pelan-pelan kubuka mataku, kulihat nenek Marul merapikan tanah disekelilingku. Kuperhatikan disekeliling, aku ditempatkan disebuah di sebuah pot yang cantik terbuat dari keramik putih. Aku diletakkan dipojok teras, tidak jauh disampingku ada lagi pot-pot dengan bunga lain yang cantik, ada melati, kamboja, dan lain-lain. Mereka semua tersenyum kepadaku.

Akhirnya aku mulai terbiasa hidup mandiri walau susah. Aku belajar memasak sendiri, menggunakan sinar matahari dan air yang selalu disirami ketubuhku setiap pagi oleh nenek Marul. Ketelatenan Nenek Marul merawatku sedikit demi sedikit menghilangkan rasa tak sukaku kepadanya karena telah memisahkanku dengan keluargaku.

Waktupun berlalu. Setiap saat aku selalu mendoakan agar ibu dan kakak-kakakku baik-baik saja sepeninggalku. Aku selalu titip pesan kepada angin agar mengatakan kepada ibu bahwa aku baik-baik saja. Jangan biarkan mereka cemas akan keadaanku,  Kabarkan juga pada mereka aku dah bisa memasak sendiri dan kini sedang menunggu mahkota bunga yang sebentar lagi akan mekar. Mereka pasti gembira mendengar kabar itu.  Aku ingin ibu tak khawatir denganku.

Suatu pagi, aku melihat ada makhluk kecil aneh keluar dari tanah disampingku. "Hei, kamu siapa? Tanyaku. Makhluk itu diam saja dan sepertinya ketakutan. "Hei, kenapa kamu bisa sampai disini?" tanyaku heran. Tiba-tiba dia menangis. "hei..cup..cup..maapkan aku. Jangan menangis dong..." Aku merasa bersalah. Aku memeluknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline