Sebuah artikel yang ditulis oleh dosen Universitas Sains Islam Malaysia di media Malaysia www. mStar.com.my menuliskan bahwa Kepulauan Natuna seharusnya milik Malaysia. Artikel yang ditulis oleh Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat ,Ph. D tersebut mengemukakan pertanyaan: "kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia? [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kepulauan Natuna (sumber. www. mStar.com. my)"][/caption] Dalam artikel tersebut mereka menyebutkan beberapa hal alasan mengapa seharusnya Kepulauan Natuna milik Malaysia. Alasa tersebut sebagai berikut:
- Secara geografis kepulauan Natuna terletak ditengah-tengah yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Serawak Malaysia
- Bahasa masyarakat Natuna adalah bahasa melayu dialek Terengganu Malaysia
- Natuna awalnya adalah dibawah pemerintahan Kerajaan Pattani dan Kerajaan Melayu Johor Malaysia pada tahun 1597
- Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 tidak menempatkan Kepulauan Natuna dibawah kekuasaan Inggris ataupun Belanda,namun dibawah kekuasaan Kerajaan melayu Johor, Malaysia yang sejatinya dibawah pengaruh Inggris
- Kesultanan Johor merdeka dari Ingrris pada tahun 1957 dan bergabung menjadi wilayah persekutuan Malaysia
Atas dasar diatas mereka akhirnya menyimpulkan sesuai dengan konsep "utti possideti juris" maka Kepulauan Natuna yang merupakan wilayah kerajaan Johor seharusnya menjadi bagian dari Malaysia. Dengan kata lain karena Kepulauan Natuna tidak pernah menjadi daerah jajahan Belanda, maka seharusnya Kepualauan Natuna bukan bagian dari Indonesia menurut konsep tersebut. Indonesia memasukkan Kepulauan Natuna menjadi wilayahnya secara resmi pada tahun 1956 setahun sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Karena konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1962- 1966 pemerintah Malaysia tercurah perhatiannya untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga keberadaan Kepulauan Natuna yang diklaim Indonesia terluput dari perhatian. Diprediksi untuk mempercepat berakhirnya konflik, pemerintah Malaysia kala itu menahan diri untuk tidak mempersoalkan keberadaan Kepulauan Natuna agar bisa berdamai dengan negara jiran serumpun Indonesia. Hingga kini 56 tahun berlalu Malaysia tidak pernah mempersoalkan keberadaan kepulauan tersebut, sehingga sesuai dengan konsep Undang-undang antar bangsa yang mensahkan sebuah wilayah adalah menjadi wilayah negara tertentu dengan tidak ada dibantah oleh negara-negara lain, maka Indonesia beruntung memiliki Kepulauan Natuna walau dalam sejarahnya seharusnya menjadi milik Malaysia. Tulisan dua orang dosen malaysia itu menurut penulis harus kita waspadai. Tulisan itu jelas suatu provokasi halus agar Kepulauan Natuna memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan Malaysia. Apalagi saat ini gencar-gencarnya Natuna meminta menjadi provinsi sendiri. Tidak mungkin kelak karena "hasutan" malaysia Natuna memisahkan diri dari Indonesia. Malaysia belakangan ini memang terlihat menganggap enteng Indonesia sejak berhasilnya mereka memiliki Sipadan dan Ligitan yang seharusnya milik Indonesia. Apa jadinya kalau mereka secara ekonomi dan meliter lebih maju dari kita nantinya, bisa jadi mereka akan mengintervensi Kepulauan Natuna nantinya seperti bagaimana Rusia mengintervensi Crimea dan "merebutnya" dari Ukraina. Walau kecil kemungkinan tersebut terjadi, tapi kemungkinan bisa terjadi pun ada jika Pemerintah Indonesia mengabaikan kesejahteraan Masyarakat Natuna padahal kekayaan alam natuna dari gas dan minyak buminya menyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Jika pemerintah Indonesia abai terhadap pertahanan dan keamanaan di Natuna, maka bisa saja negara luar akan gampang mendikte kita, seperti baru-baru ini sebagian wilayah natuna dimasukkan China di peta wilayahnya atau seperti Malaysia yang terus melakukan manuver di pulau Anambat. Saat ini yang sangat dibutuhkan masyarakat Natuna adalah bagaimana mereka bisa melepaskan diri dari keterisoliran dari wilayah lain di Indonesia. Di kepualauan Natuna harus banyak di bangun bandara, dengan memperbanyak penerbangan murah yang disubsisi pemerintah ke natuna. Saat ini penerbangan ke Natuna sangat sedikit dan harganya mahal berkisar diangka Satu jutaan rupiah. Begitu juga transportasi lautnya yang sangat terbatas bahkan perlu berhari-hari ditengah laut untuk kesana. Kemudian persoalan pendidikan, sosial budaya, di Natuna harus menjadi prioritas Utama, saat ini "penyakit masyarakat"mulai dari pesatnya pertumbuhan penderita HIV/AIDS di Natuna, seks bebas di kalangan remaja sehingga di Natuna terkenal istilah 3J (Three Jie) yaitu istilah untuk remaja tanggung (cabe-cabean) yang menjual keperawaanannya dan lain sebagainya adalah buah dari tidaknya jalannya penanaman karakter pendidikan disana. Pemerintah daerah dan pusat harus mengambil perhatian penuh dengan persoalan ini. Kalau tidak maka generasi muda natuna akan tersinggirkan dan akan gampang terprovokasi dan tentu kedepan kemungkinan "lepas" dari Indonesia bisa saja terjadi! Save Natuna!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H