Kedaulatan adalah konsep yang sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu politik, hukum, sejarah, dan antropologi. Secara umum, kedaulatan dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan tertinggi untuk mengatur diri sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain. Namun, definisi kedaulatan tidaklah tunggal, tetap, atau universal.
Definisi kedaulatan dapat berbeda-beda tergantung pada konteks, perspektif, dan tujuan yang digunakan. Dalam ilmu politik dan hukum, kedaulatan biasanya dikaitkan dengan negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional.
Negara dianggap berdaulat jika memiliki pengakuan formal dari negara-negara lain, memiliki wilayah yang jelas dan tetap, memiliki pemerintahan yang efektif dan mandiri, dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari ancaman eksternal. Dalam konteks ini, kedaulatan berarti otonomi atau kemandirian negara dalam mengatur urusan dalam negeri dan luar negerinya (Chalfin 2006: 244).
Namun, dalam antropologi, kedaulatan tidak hanya dipahami sebagai atribut negara, tetapi juga sebagai proses sosial yang melibatkan berbagai aktor, lembaga, ideologi, dan diskurs.
Antropologi menunjukkan bahwa kedaulatan tidaklah monolitik atau esensialis, tetapi bersifat fleksibel, majemuk, dan kontekstual. Kedaulatan diproduksi melalui interaksi-interaksi sosial yang dinamis dan kompleks antara negara dengan masyarakat sipil, antara pusat dengan daerah, antara mayoritas dengan minoritas, antara lokal dengan global, dan antara manusia dengan Tuhan atau kekuatan-kekuatan supranatural. Kedaulatan juga menjadi bahan perdebatan dan perjuangan politik yang melibatkan klaim-klaim atas otoritas, legitimasi, kekuasaan, dan hukum (Hansen dan Stepputat 2006: 296).
Antropologi Kedaulatan (Anthropology of Sovereignty) adalah bidang kajian yang meneliti bagaimana kedaulatan didefinisikan, diklaim, dan dipertahankan oleh berbagai aktor dalam konteks global yang kompleks. Antropologi kedaulatan adalah cabang ilmu antropologi yang mempelajari bagaimana konsep, praktik, dan perjuangan kedaulatan muncul, berkembang, dan berubah dalam konteks sosial, politik, dan sejarah yang beragam. Antropologi kedaulatan menantang pandangan monolitik dan esensialis tentang kedaulatan sebagai atribut eksklusif negara modern, dan mengeksplorasi bagaimana kedaulatan dibentuk oleh hubungan antara berbagai aktor, lembaga, ideologi, dan diskurs. Antropologi kedaulatan juga mengkritisi asumsi bahwa kedaulatan adalah sesuatu yang tetap, tunggal, dan universal, dan menunjukkan bagaimana kedaulatan bersifat fleksibel, majemuk, dan kontekstual (Hansen dan Stepputat 2006: 295).
Salah satu tema utama dalam antropologi kedaulatan adalah hubungan antara kedaulatan dan kolonialisme. Banyak studi antropologis mengungkapkan bagaimana kolonialisme mengubah bentuk dan makna kedaulatan bagi masyarakat-masyarakat yang dikolonisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kolonialisme tidak hanya menimbulkan dominasi politik dan ekonomi dari negara-negara imperialis terhadap negara-negara koloni, tetapi juga menciptakan bentuk-bentuk baru dari pengetahuan, identitas, budaya, dan hukum yang mempengaruhi cara-cara orang memahami dan menuntut kedaulatan (Wachspress 2009: 316). Di sisi lain, kolonialisme juga memicu berbagai bentuk perlawanan dan gerakan sosial yang menantang atau menolak klaim kedaulatan dari negara-negara imperialis atau kolonial. Beberapa contoh adalah gerakan kemerdekaan nasional, gerakan pembebasan nasionalis atau etnis, gerakan hak asasi manusia, gerakan lingkungan hidup, dan gerakan pribumi atau adat (Sturm 2017: 341).
Konsep Kedaulatan (Sovereignty)
Konsep kedaulatan juga berkaitan erat dengan konsep teologi politik atau theopolitik. Teologi politik adalah studi tentang cara-cara agama mempengaruhi atau dipengaruhi oleh politik, khususnya dalam hal otoritas, legitimasi, kekuasaan, dan hukum. Theopolitik adalah studi tentang cara-cara Tuhan atau kekuatan-kekuatan supranatural dihadirkan atau diwakili dalam ranah politik, khususnya dalam hal klaim-klaim eksklusif atau inklusif atas wilayah, populasi, atau sumber daya. Antropologi teologi politik atau theopolitik meneliti bagaimana konstruksi sosial tentang Tuhan atau kekuatan-kekuatan supranatural membentuk atau dibentuk oleh konstruksi sosial tentang kedaulatan (McAllister dan Napolitano 2021: 110).
Definisi kedaulatan yang digunakan dalam antropologi tidak selalu sama dengan definisi yang digunakan dalam ilmu-ilmu lain seperti ilmu hukum, ilmu politik, atau sejarah. Antropologi cenderung menggunakan pendekatan yang lebih deskriptif daripada normatif dalam mendefinisikan kedaulatan. Artinya, antropologi lebih fokus pada apa yang terjadi di lapangan daripada apa yang seharusnya terjadi menurut aturan-aturan formal atau ideal. Antropologi juga cenderung menggunakan pendekatan yang lebih relasional daripada substansial dalam mendefinisikan kedaulatan. Artinya, antropologi lebih fokus pada bagaimana kedaulatan diproduksi melalui interaksi-interaksi sosial daripada pada apa yang menjadi esensi atau karakteristik dari kedaulatan itu sendiri (Humphrey 2007: 419).
Dengan demikian, antropologi kedaulatan memberikan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang fenomena-fenomena politik yang kompleks dan dinamis di dunia kontemporer. Antropologi kedaulatan juga memberikan wawasan kritis bagi kita untuk merefleksikan kembali asumsi-asumsi kita tentang apa itu kedaulatan dan siapa yang berhak atasnya. Antropologi kedaulatan juga menawarkan perspektif-perspektif alternatif bagi kita untuk mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan baru dari bentuk-bentuk politik yang lebih inklusif, demokratis, dan berkeadilan (Kauanui 2017: 329).