Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Tangan Ajaib Si Kuli Panggul

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1387671507334440710

No Peserta : 114

Bagaimana harus kumulai, aku pun bingung. Bukannya diri ini tidak tahu cara mengutarakan cinta dan sayang yang mengendap di dalam dasar hati. Bukan pula aku tidak bisa memuji lewat bibirku. Hanya mungkin tidak ada kata-kata yang tepat untuk melukiskanmu, namun akan tetap kucoba walau tentu tidak sepadan dengan dirimu yang sesungguhnya.

Emak, aku sadar, dosaku tak terbilang atas dirimu. Banyak kata salah pernah terlontar entah sengaja atau tidak dari mulut anakmu ini. Aku juga paham betapa perih hatimu tatkala melihatku berbuat khilaf. Hatimu kian sesak tatkala melihatku menangis karena olokan tetangga dan teman. Bahkan saat kelopak matamu menua, masih saja terdapat air mata karena keluh kesahku.
Hingga kini usia Emak enam puluh tujuh tahun, masih banyak hal yang belum kutunaikan untuk membuatmu tersenyum. Bukan seperempat atau setengah senyum dari bibirmu. Bukan, Emak. Aku ingin melihat senyummu yang penuh. Senyummu yang sempurna di hari tuamu.

Mengingat Emak, tidak dapat terbayangkan seandainya kita bertukar posisi. Bagaimana dirimu memanggul berkilo-kilo barang demi sesuap nasi pengisi perut buah hatimu. Menahan hinaan dan cacian dari keluarga besar Bapak karena Emak hanya kuli panggul sekaligus pemulung. Kau selalu bersabar saat mereka jelas-jelas menolak kehadiranmu di rumah ini. Terbuat dari apa hati putihmu itu? Bagaimana dirimu menahan dan menanggung semua penderitaan itu?
Ketegaranmu sebagai perempuan sulit tergambarkan. Bibirmu tetap diam membisu seberat apapun hidup yang dijalani. Tidak pernah, ya tidak pernah kudengar Emak mengeluh. Mungkin keluhan itu kau kurung dalam hatimu agar kami, empat anak yang terlahir dari rahimmu tidak mendengarnya. Letih? Bahkan memintaku untuk memijit saja kau tidak pernah.

Selain hatimu. Emak juga benar-benar perempuan yang perkasa. Tidak habis pikir terbuat dari apa tenagamu. Bila aku hitung seluruh waktu yang telah digunakan untuk bekerja, hampir dua puluh empat jam tanpa sisa satu detik pun untuk menjaga kami. Sebelum adzan Subuh, Emak bergegas menuju pasar. Dalam remang malam tubuhmu menunggu truk-truk pembawa sayur dan pembawa berkaleng-kaleng tahu serta tempe. Saat rombongan truk tiba, lengan kebayamu yang lusuh kau disingsingkan. Secara marathon Emak memanggul sayur dan kaleng-kaleng tahu serta tempe ke dalam pasar. Sendiri, ya semua itu Emak lakukan seorang diri demi imbalan yang tidak seberapa dibanding dengan rasa capek dan pegal pada punggungmu.

Hingga matahari terbit, Emak pulang ke rumah bukan untuk istirahat. Tenagamu digunakan untuk mengantar dagangan milik Bibi ke pasar dengan menjungjungnya di atas kepala. Selepas itu Emak berkutat di dapur, menyiapkan sarapan pagi buat kami. Tidak berhenti sampai di situ, Emak kemudian membereskan semua urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, menyetrika dan lainnya. Cukup? Masih ada lagi. Sehabis Dzuhur Emak mendampingi Bapak bekerja sebagai tukang sapu pasar. Sejenak tubuhmu dapat istirahat saat pulang di waktu Maghrib. Tidak menuntaskan penatmu, anak-anak harus makan malam dan menyiapkannya menjadi bagian kerja Emak setiap hari.

Jarum jam menunjukkan angka sepuluh malam, kembali Emak mengenakan jarit kumal untuk pergi ke pasar guna menyapu bersama Bapak. Dua shift kerja menyapu di pasar terpaksa Emak dan Bapak lakukan demi mempertahankan hidup kami. Gelar tukang sapu sampai melekat di dirimu seumur hidup hingga kini. Emak baru kembali ke rumah saat pukul satu dini hari, sementara Bapak melanjutkan bertugas sebagai waker atau penjaga malam di pasar.

Meskipun Bapak tidak bisa memberikan harta berlimpah, namun Emak setia mendampingi Bapak. Beban ekonomi yang sangat mencekik leher tidak dihiraukan, terpenting anak-anak dapat makan dan sekolah. Ketika Bapak jatuh sakit, Emak menggantikan tugas Bapak sendirian. Gerobak sampah yang bau dan sangat berat dapat dengan mudah didorong walau tenagamu kian lelah. Jika bukan karena ingin melihat kami semua tersenyum kenyang, jika bukan karena ingin melihat kami menjadi orang sukses dan terhormat, mungkin sudah sejak dulu Emak menyerah tanpa syarat.

Sementara aku? Seperti bumi dan langit jika disandingkan dengan Emak. Baru sebatas mencuci piring, mulutku sudah berkata ‘capek’. Bukan sebatas keluhan, aku bahkan menuntut Emak atas ketidakmampuan hidup kita, kenapa aku harus hidup di bawah garis kemiskinan? Kenapa aku harus mempunyai Emak yang hanya seorang perempuan desa buta aksara sekaligus buta warna. Terlalu banyak keluhan, mungkin jika dimasukkan dalam kuali susu maka putihnya akan menghitam.

Sebagai anak, aku tidak mau mengerti akan bebanmu. Masih jelas diingakatanku saat masa kecil, sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar. Sepulang sekolah, jam satu siang, kudapati Emak dan Bapak sudah tidak ada di rumah. Sementara perut terasa perih karena lapar. Ketika kubuka tudung nasi, di meja hanya ada nasi jagung dan sepotong tahu. Bukan tahu goreng, namun tahu yang telah dikukus. Di dapur tidak ada setetes pun minyak goreng atau bahan makanan lainnya. Aku yakin Emak pasti belum makan. Namun demi anaknya, Emak rela menahan rasa lapar dan berangkat kerja dengan perut kosong.

Pernah aku merasa Emak tidak sayang padaku sewaktu keluarga besar Bapak memintaku berhenti sekolah. Semua itu hanya karena faktor ekonomi yang benar-benar mencekik leher hingga seperti kematian menghampiri. Saat itu aku kelas tiga SMP. Aku tidak pernah membayangkan apa yang bisa kulakukan jika putus sekolah. Sementara saudaraku yang lain harus tetap sekolah. Terutama kakak laki-laki tertua. Karena harapan keluarga ada di pundaknya untuk bisa mengubah status sosial keluarga. Kemudian aku yang dianggap sudah selesai menyelesaikan sekolah SMP-ku, dianggap sudah sepantasnya mengalah agar saudaraku yang lain bisa tetap sekolah. Terutama adik bungsuku yang saat itu harus masuk Sekolah Dasar. Sementara kakak laki-laki tertua kuliah dan sudah semester empat serta kakak perempuanku yang duduk di kelas dua SMA. Hal itu tidak mungkin meminta kedua kakakku harus putus sekolah. Akhirnya aku yang dianggap sudah lulus dari bangku SMP harus berhenti sekolah terlebih dahulu. Walaupun sebuah janji untuk melanjutkan sekolah sempat terdengar, namun janji itu hilang seperti ditelan bumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline