Beberapa hari yang lalu, saya sempat berbincang dengan salah satu anak didik saya terkait dengan kebijakan sekolah yang dia rasa terlalu mencampuri urusannya ketika di rumah. Anak ini berpendapat bahwa urusan yang terkait dengan kehidupannya di luar sekolah tidak seharusnya mempengaruhi kehidupannya di sekolah.
Salah satu contoh, ketika dia berpacaran di luar jam sekolah, dan kebetulan salah satu guru memergokinya, maka dia merasa jika pihak sekolah tak memiliki hak untuk memberinya sanksi baik itu berupa pemanggilan orang tua ataupun skorsing.
Lalu saya mencoba menggali lebih dalam tentang pemikirannya tersebut. Apakah dia mengetahui dampak negatif dari berpacaran tersebut, apakah orang tuanya mengetahui bahwa dia berpacaran.
Saya sedikit terkejut dan miris setelah mendengar jawaban polosnya. Dengan meyakinkan dia menjawab bahwa tidak mungkin dia akan terjerumus lebih jauh dalam hal yang terkait dengan kehidupan berpacarannya (baca: seks bebas). Dan orang tuanya sudah mengetahui jika pacarnya telah melakukan kontak fisik dengannya yang dia katakan sekedar ciuman pipi.
Dari peristiwa di atas, kita bisa mengetahui jika belum terbentuk satu pemahaman yang sama terkait pola pikir dan cara mendidik antara pihak sekolah dengan orang tua peserta didik. Jika pihak sekolah, dalam hal ini guru, mencoba untuk memberi pemahaman tentang dampak negatif berpacaran, lain halnya dengan orang tua yang membebaskan anak untuk berpacaran.
Perlu diketahui, jika sekolah tempat saya bernaung adalah sekolah madrasah yang menitik beratkan pada pendidikan agama, pun berlokasi di pinggiran kota. Dan syukurnya, kehidupan beragama di lingkungan sekitar sekolah masih begitu kental.
Namun derasnya arus informasi---yang berdampak negatif---dari berbagai media, serta merta mempengaruhi kehidupan masyarakat, apalagi mereka yang masih berusia remaja dan belum bisa menyaring informasi yang memang diperlukan bagi kehidupan mereka, dengan informasi negatif yang mereka pikir baik untuk kehidupannya. Jika tiga puluh tahun yang lalu berpacaran hanya sebatas berpegangan tangan, tapi saat ini sudah menjadi kelaziman dan menjadi konsumsi umum ketika berciuman adalah tanda berpacaran.
Sayangnya, para orang tua yang sejatinya lebih memahami pola pikir dan lebih bisa mengawasi anak-anak mereka seperti abai dengan pola pikir anak mereka yang mulai sedikit melenceng dari pendidikan agama yang ditanamkan para guru, baik itu di sekolah maupun ustaz di lingkungannya.
Para orang tua tersebut terlalu sibuk untuk memenuhi kebutuhan materi si anak, tanpa memperhatikan kebutuhan jiwa anak. Mereka sibuk bekerja mulai dari pagi sampai sore. Energi mereka telah terkuras meskipun itu hanya untuk menyapa anak mereka. Para orang tua merasa jika kewajiban mereka telah tunai dengan memasrahkan pendidikan anak pada pihak sekolah. Akibatnya, si anak akan mencari tempat bersandar lain yang membuat mereka nyaman, yang mereka sebut sebagai pacar.
Sungguh tak bisa disalahkan jika orang tua begitu mempercayai para pendidik untuk membentuk pola pikir dan sikap yang baik bagi anak-anak mereka.
Sayangnya, kepercayaan itu tidak dibarengi dengan tindakan nyata dan serasi terkait penanaman moral yang telah diajarkan oleh para guru di sekolah. Jika guru melarang satu tindakan A, sebaliknya, para orang tua me'mubah'kan tindakan A tersebut.