Lihat ke Halaman Asli

Musa Millennium I

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saat sibuk berkutat dengan buku Mustholahul Hadits di mesjid Manba’ul Furqon menjelang jum’at siang itu, aku sedikit terkejut ketika Syekh abdullah Hamid memanggilku dengan suara lirih menggunakan isyarat tangannya. Aku mendekat “Inta Lâzim tiqro’ Qur’an Dilwakti, Mashy..!” (Kamu harus baca qur’an sekarang, Oke!) katanya. “Insya Allah Fikri ha Yigi Syekh…” (Isnya Allah temanku Fikri akan datang Syekh…) jawabku. “Huwa Mush Gay Dilwakti, Biyukhbirni kholas, Ha Tiqro’ Ayyatussuroh” (Dia ngak datang, kemaren sudah memberitahuku, kamu mau baca surat apa?) Masih dalam kebigungan dan sedikit gugup aku jawab saja “Sûratul  An’am Insya Allah..”

Sudah hampir dua tahun berlalu aku dan tujuh orang sahabatku belajar tajwid kepada beliau, banyak ilmu dan hal-hal baru yang kudapat. Kesan pertama dan catatan pribadiku adalah “seluruh teman-teman Indonesia yang belum pernah belajar qur’an kepada Masyayikh asli arab, pastilah “dibantai” alias dibengkel habis-habisan, meskipun mereka termasuk para pemenang lomba MTQ yang tentunya jago baca qur’andi Indonesia (Makhorij dan tajwid kita masih berantakan, red)”

Begitulah hal yang kualami bersama teman-teman yang kebetulan tergabung dalam kelompok JMQ (Jam’iyyatul Qurra), para qori pondok modern Gontor. Padahal di pondok Darussalam ini hanya mereka yang pilihan saja mendapat izin baca qur’an di “blue house” (kamar khusus tempat baca qur’an dengan dinding warna biru)

Yang aku tau setiap membaca qur’an malaui suara menara, bacaan akan didengarkan banyak orang,sebab disiarkan langsung melalui radio yang konon sinyal gelombangnya sampai ke Solo. Sementara Ponorogo-Solo berjarak seratus kilo meter lebih. Salah bacaan! hmm..siapkan diri untuk mendapatkan siraman omelan.

Ah, jadi teringat pertama kali aku dizinkan Azan diruang itu, kakiku gemetaran, lunaglai tak terkira. Apalagi saat mendapat izin membaca Murottal, wah… mulutku rasanya spontan langsung sariawan. Namun, bahagianya minta ampun hingga terbawa mimpi. Hiks…hiks….Wong ndeso kon…kon…?

Sesaat sebelum aku mulai membaca, sang khotib datang. Akupun lantas bersalaman tanpa mengenal sosok yang aku salami, ia duduk disebelah kiriku sambil terkadang melirik melihat qur’an yang aku baca. Lumayan gemetaran rasanya, sebab inilah pertama kalinya sebagai orang asing di Negeri ini membaca qur’an ditengah penduduk Arab asli dalam menyambut waktu jum’at. Nervousku bertambah dahsyat ketika Syekh Hamid menyimak bacaan mengambil posisi disebelah kananku. Wah, Mesti super hati-hati dan siap mental untuk disalahkan.

Waktu jum’at tiba, bacaan segera kuakahiri. Subhanallah, Bahagia sekali rasanya, Alhamdulillah…, cuma diingatkan satu kali, ada huruf ‘Sin’ yang terbaca agak tebal. Sang khotib menaiki mimbar, azan pun dikumandangkan.

Besambung...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline