Lihat ke Halaman Asli

Albi Abdullah

Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Agama dalam Ruang Publik: Demokrasi Deliberatif dan Post Sekuler

Diperbarui: 22 September 2020   05:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adanya modernisasi mengakibatkan jurang pemisah antara kehidupan bersifat dunia dan religi. Bahkan narasi yang dibawa modernitas menyatakan bahwa dengan sendirinya agama akan terpinggirkan dari pergumulan realitas.

Karena agama dipandang sebagai sesuatu yang tidak rasional dibandingkan dengan ilmu-ilmu empiris lainnya, maka lebih baik diprivatisasi atau dipinggirkan.

Diferensiasi antara sesuatu yang duniawi dan sesuatu yang sakral sebenarnya mudah dijumpai di segala aspek kehidupan dewasa ini, hanya saja yang menarik perhatian dan kerap kali menjadi problem adalah diferensiasi agama dan pemerintahan. 

Guna menjaga netralitas negara dari budaya atau agama tertentu, negara menggunakan hukum yang dibuat berdasarkan rasionalitas atau hukum sekuler. Dalam hal ini agama dipandang bukan satu-satunya otoritas yang mengatur karena didasarkan fakta pluralitas dan perbedaan orientasi nilai yang diyakini setiap individu.

Fenomena diferensiasi yang tajam dan privatisasi agama merupakan konsekuensi dari paham filsafat dan politik liberalisme dan ingatan sejarah tentang kondisi eropa yang pernah mengalami suatu keadaan dimana agama terlalu ikut campur dalam segala hal dan menentukan kebenaran.

POST SEKULER DAN DEMOKRASI DELIBERATIF

Akar pembahasan masalah ini dimulai dengan adanya tertib sosial yang berajak dari agama atau pemisahan antara agama dan pemerintah yang lebih dikenal dengan nama sekulerisme. Sekulerisme mengimplikasikan adanya usaha untuk meminggirkan agama dari ruang publik.

Seperti yang telah disinggung sebelummya bahwa agama dengan sendirinya akan hilang dari muka bumi karena sejarah akan bergerak ke arah rasional. Namun nyatanya justru sampai detik ini agama masih tetap ada, jangankan hilang tanda-tanda hilangnya pun tak nampak. Dari fakta tersebut kiranya kehadiran agama dalam ruang publik perlu dilihat kembali

Agama memiliki doktrin komprehensif yang menjadi daya hidup seorang individu termasuk hal yang berkaitan dengan pemerintahan, maka akan timbul suatu beban psikologis jika kaum beragama dipaksa diam dalam urusan pemerintahan.

Hanya saja tetap dalam catatan bahwa agama tidak bisa berselancar bebas begitu saja dalam urusan publik, dengan alasan keharusan netralnya sebuah negara dari ekstrem paham agama tertentu dan yang kedua karena fakta pluralitas. Negara pun harus berani merangkul suara keagamaan demi terciptanya hasil kebijakan yang legitim. Bukan hanya mementingkan suara-suara sekuler.

Seorang filsuf bernama Jurgen Habermas memiliki pandangan solutif terkait penyelesaian antara pandangan sekuler dan religius. Ia menyodorkan gagasannya tentang demokrasi deliberatif. Namun terlebih dahulu akan diuraikan mengenai teori tindakan komunikatifnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline