Lihat ke Halaman Asli

Albert Wijaya

Follow my Twitter : @daridebubintang

Pelajaran Eksistensialisme dari Qoheleth: Berdansa di Tengah Keabsurdan Hidup

Diperbarui: 6 April 2021   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source : https://www.freepik.com/

Kitab Pengkhotbah adalah kitab favorit saya di dalam Alkitab karena menurut saya kitab ini merupakan kitab yang tulisannya paling jujur dan paling akurat dalam menggambarkan realitas dunia. Sejarawan pada umumnya sepakat bahwa kita tidak tahu siapa penulis dari kitab ini meskipun menurut tradisi Kekristenan, Raja Salomo diyakini sebagai penulisnya. Yang jelas penulis dari kitab ini menyebut dirinya sebagai Qoheleth yang diterjemahkan sebagai "pengkhotbah". Ketika pertama kali membaca kitab ini, saya cukup kaget karena nuansa dan atmosfer dari kitab ini terasa sangat muram, gelap, dan pesimistis. Kontras dengan teologi kekristenan yang salah satu poin utamanya adalah pengharapan.

Kitab ini memang kitab yang sangat unik dan berbeda. Bahkan Richard Dawkins, salah satu punggawa dari gerakan New Atheism pernah mengakui bahwa Pengkhotbah dan Kidung Agung adalah 2 kitab favoritnya yang sering ia baca secara berkala. Qoheleth secara garis besar menarasikan tentang keabsurdan dan kesia-siaan dari hidup ini. Kata-kata" kesia-siaan" dan "upaya menjaring angin" yang terus menerus muncul dalam narasi dari Qoheleth menunjukkan bahwa ini poin utama dari tulisannya.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi 3 pelajaran eksistensialisme yang saya pelajari dari tulisan Qoheleth. 3 poin ini saya dapatkan dari membaca tulisan Qoheleth sebagai sebuah tulisan yang berdiri sendiri dan mandiri tanpa berusaha memandang tulisan Qoheleth ini dari kacamata teologi sistematika. Saya sepakat dengan Bart Ehrman (Sarjana Perjanjian Baru yang fokus pada kritik teks) bahwa setiap penulis dari setiap kitab di Alkitab hidup di zaman yang berbeda, punya maksud dan alasan yang berbeda-beda ketika menulis. Masing-masing penulis punya tujuan dan audiens yang berbeda-beda pula. Sehingga kurang tepat untuk menafsirkan sebuah tulisan hanya dengan kacamata teologi sistematika.

  • Hidup ini absurd dan random.   

"Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.                     

Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." 

(Pengkhotbah 9 : 11-12)

Absurd dapat diartikan sebagai tidak masuk akal, sedangkan random artinya acak dan tidak berpola. Kita tahu bahwa sejak Big Bang, salah satu hukum yang berkuasa atas alam semesta kita ini adalah hukum termodinamika kedua atau lebih dikenal sebagai hukum entropi. Hukum entropi membuat segala sesuatu di alam semesta ini bergerak menuju ketidakteraturan atau kekacauan. Dalam bahasa yang lebih sederhana hukum entropi bisa diterjemahkan menjadi : "Sooner or later everything turns to sh*t". Bencana alam, sakit penyakit, dan kematian adalah contoh paling pahit namun nyata bahwa kita hidup di dunia yang dikuasai oleh hukum entropi.

Beberapa hari lalu saat saya membaca sebuah berita di portal berita online, saya makin menyadari bahwa kita benar-benar hidup di dunia yang absurd dan random. Hari itu ada berita tentang peristiwa tabrakan yang membuat seorang meninggal dunia. Pagi itu, orang tersebut sedang sarapan lontong sayur di pinggir jalan. Tidak jauh dari sana ada sebuah truk sedang terparkir di jalan tersebut. Karena truk tersebut menghalangi jalan, truk tersebut diminta dipindahkan ke tempat lain. Karna sopir truk tidak bisa ditemukan, akhirnya kernet truk tersebut mencoba untuk memindahkan truk tersebut. Entah karena kurang ahli atau apa, truk tersebut menabrak orang yang sedang sarapan lontong sayur tersebut dan menyebabkan korban meninggal.

Saya yakin bahwa tidak pernah terlintas dalam pikiran orang tersebut bahwa sarapan lontong sayur akan menjadi hal terakhir yang ia lakukan. Pagi itu mungkin ia pikir hanyalah sebuah pagi yang normal seperti pagi lainnya. Ia hanya melakukan hal yang kita semua lakukan yaitu sarapan. Betapa absurd dan randomnya hidup ini dengan jelas digambarkan oleh Qoheleth. Ia mengibaratkan kita sebagai burung dan ikan yang kena jerat. Kita tak pernah tahu kapan bencana, kesialan, atau kematian datang. Semua terjadi secara acak dan tidak masuk akal.

  • Life here on earth might be all we have.

"Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline