30 Juni 2019, KPU secara resmi menetapkan Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Pilpres 2019. Di pihak lain, Prabowo dan Sandiaga menyatakan akan menghormati keputusan MK tersebut. Kedua hal ini nampaknya akan mengakhiri panasnya atmosfer politik nasional selama 9 bulan terakhir ini. Sedikit flashback ke belakang, kemenangan Jokowi di pilpres kali ini semakin menyempurnakan rekor tandingnya di pemilihan umum. Dari 5 kali pemilihan umum yang diikutinya, semua disapu bersih dengan kemenangan. Rinciannya adalah 2 kali terpilih sebagai Wali Kota Solo, 1 kali memenangi Pilgub DKI Jakarta, dan 2 kali sukses dalam kontestasi menjadi RI1. Waktu telah mengubah tukang mebel sederhana dari Solo ini menjadi politisi kelas wahid yang tak terbendung.
Kampanye telah usai, kini saatnya bekerja kembali sambil mulai menyusun nama-nama untuk mengisi kabinet. Beberapa hari belakangan ini, media sosial diramaikan oleh daftar nama-nama orang yang diperkirakan akan dipilih Jokowi sebagai menterinya. Isi dari daftar tersebut tidaklah mengherankan karena kebanyakan berasal dari kader partai-partai politik pengusung Jokowi di Pilpres kemarin. Posisi menteri memang sangat mengiurkan bagi partai politik manapun. Semua partai pengusung Jokowi akan berusaha mati-matian mengendorse kadernya untuk bisa duduk di kabinet. Cak Imin (PKB) bahkan tanpa malu-malu mengatakan bahwa ia berharap PKB diberi 10 jatah kursi menteri.
Fenomena bagi-bagi kursi menteri kepada partai politik memang bukan hal yang baru di sistem politik Indonesia. Kursi menteri dianggap sebagai "balas jasa" atas keringat partai politik yang telah memenangkan kandidat. Jadi bagi-bagi kursi adalah pemandangan yang lumrah di dunia politik Indonesia sejak pemilu langsung oleh rakyat. Tahun 2014 ketika Jokowi sedang menggalang kekuatan politik untuk maju di Pilpres 2014, istilah "koalisi tanpa syarat" muncul dengan segala gembar gembornya. Jokowi dan partai-partai pendukungnya saat itu menekankan bahwa koalisi yang mereka lakukan adalah tanpa syarat, artinya tidak ada janji untuk bagi-bagi kursi menteri kepada partai politik jika Jokowi terpilih. Setelah terpilih Jokowi juga mengatakan bahwa menteri-menteri di kabinetnya dilarang untuk rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
5 tahun pemerintahan Jokowi berjalan, Kabinet Kerja Jokowi kini sesak dengan kader-kader partai politik. Selain itu larangan rangkap jabatannya juga sepertinya hilang tak berbekas. Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar sekaligus Menteri Perindustrian adalah contoh bahwa ternyata kita tidak mungkin bisa menjadi idealis sejati di dunia politik. Selalu harus ada kompromi yang dilakukan dalam politik. Jangan salah sangka, saya tidak menyalahkan Jokowi atas dualisme ini karena sistem politik kita memang membuat presiden harus banyak kompromi dengan partai politik. Dan sejauh ini kompromi politik yang dilakukan Jokowi masih wajar.
Tentu banyak yang bertanya mengapa kita harus pusing dengan kursi menteri yang diisi oleh kader-kader partai politik? Bukankah tidak ada peraturan hukum yang melarangnya? Ya, memang sejatinya tidak ada yang salah jika kursi menteri diisi oleh orang-orang partai. Lagipula tidak ada peraturan yang melarang rangkap jabatan di partai dan kabinet. Tapi persoalannya adalah kader-kader partai politik yang mengisi kursi menteri bisa terjebak konflik kepentingan dan bias dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil akan selalu dilihat dari perspektif keuntungan bagi partainya. Artinya kepentingan masyarakat bukanlah satu-satunya jangkar dalam mengambil keputusan.
Silakan lihat bagaimana kinerja kabinet Jokowi selama 5 tahun belakangan ini. Sebagai contoh mari kita lihat kinerja Menkumham. Seperti yang kita tahu posisi Menkumham diisi oleh kader dari partai politik. Selama 5 tahun ini, persoalan penegakan hukum adalah sektor yang paling carut marut dan compang-camping di pemerintahan Jokowi. Dan ajaibnya posisi ini sama sekali tidak tersentuh oleh reshuffle selama 5 tahun ini. Itu baru dari segi kinerja. Dari segi integritas, hampir semua menteri yang bermasalah dengan KPK adalah mereka yang berasal dari partai politik. Dalam 5 tahun ini rinciannya adalah 1 menteri aktif yang menjadi tersangka KPK (Idrus Marham dari Golkar) dan setidaknya ada 3 menteri yang saat ini disebut-sebut sedang berurusan dengan KPK (Menag, Mendag, dan Menpora). Dan ketiga nama tersebut adalah menteri dari partai politik.
Tetapi bagaimanapun penentuan posisi menteri adalah hak prerogatif dari presiden. Presiden juga yang lebih tahu tantangan apa yang sedang dan akan dihadapi oleh Indonesia 5 tahun ke depan. Ibarat kapal, presiden adalah nahkoda Indonesia. Ia berhak memilih awak-awak kapal terbaik untuk mengisi kapalnya. Harapan saya sebagai salah satu pemilih Jokowi adalah pilihlah awak-awak kapal terbaik yang sesuai dengan kebutuhan kapal. Awak --awak kapal yang memang mampu dan berintegritas. Awak-awak kapal yang tidak sibuk sendiri dengan urusannya dan urusan golongannya.
Semoga....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H