Lihat ke Halaman Asli

Albertus Sindoro

Penulis pemula

Desember Hitam: Perang Idealisme Seni Rupa Indonesia

Diperbarui: 28 April 2021   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Pameran Seni. Sumber: seputarbahan.me

Peristiwa Desember Hitam barangkali kurang familiar di telinga masyarakat luas. Meski demikian, peristiwa ini rupanya menjadi salah satu tonggak penting bagi dunia seni rupa modern Indonesia.

Narasi generasi muda versus generasi tua bukanlah sesuatu yang terjadi secara jarang-jarang. Fenomena ini bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa anda sadari, anda mengalami kejadian ini tatkala anda menghadapi kerabat anda yang memiliki perbedaan usia serta memiliki perbedaan dalam memandang suatu hal.

Fenomena di atas tampaknya juga menjadi penyebab munculnya istilah Desember Hitam. Dalam dunia seni rupa, Desember Hitam menjadi salah satu babak penting dalam perkembangan seni rupa modern di Indonesia.

Desember Hitam muncul sebagai puncak silang pendapat antara seniman generasi senior dengan seniman generasi muda. Kedua generasi ini saling berselisih pendapat mengenai 'idealisme' yang harus terkandung dalam sebuah karya seni. Meski keduanya saling silang pendapat, namun pada akhirnya perselisihan kedua pihak ini malah mampu melahirkan gerakan seni rupa yang fresh bagi dunia seni modern Indonesia.

Asal-usul Desember Hitam

Di penghujung tahun 1974, tepatnya pada 18-31 Desember 1974, dilaksanakan Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI). Kelak, pameran ini lebih dikenal sebagai Jakarta Biennale yang sampai saat ini masih berlangsung dua tahun sekali. Historia mencatat, pameran yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tersebut berhasil menampilkan 240 karya dari 83 pelukis se-Indonesia.  

Dalam pameran tersebut, nama-nama besar seperti Iskandar, Affandi, Rusli, Fajar Sidik, Sudjoko, Alex Papadimitrou, dan Umar Khayam didapuk menjadi dewan juri pameran. Seniman-seniman kondang tersebut akhirnya menahbiskan lima lukisan sebagai karya terbaik dalam pameran tersebut.

Lukisan yang dipilih yakni "Matahari dari Atas Taman" karya Irsam, "Keluarga" karya Widayat, "Lukisan Wajah" karya Abas Alibasyah, "Pohon" karya Aming Prayitno, dan "Tulisan Putih" karya Abdul Djalal Pirous.

Tak hanya menilai lukisan mana yang terbaik, rupanya dewan juri juga memberi apa yang mereka sebut sebagai masukan kepada karya-karya seniman muda yang mengikuti pameran tersebut. Bagi para juri, karya seniman muda tersebut tak lebih dari sekedar upaya coba-coba dan membuktikan bahwa di mereka tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan sebuah karya.

Baca: Membaca Perkembangan Politik Lewat Bahasa Seni Rupa

Perang dua generasi

Pendapat dewan juri tersebut rupanya dianggap oleh seniman muda sebagai bentuk kemandekan seni rupa Indonesia. Berangkat dari penilaian juri tersebut, beberapa seniman muda yang turut dalam gelaran PBSLI membuat pernyataan mengkritik pemikiran dewan juri.

Bagi mereka, dewan juri memiliki pemikiran yang usang dan hanya mengagungkan nilai keindahan dari sebuah karya. Mereka yang menolak pendapat para juri yakni Muryotohartoyo, Juzwar, F.X. Harsono, B. Munni Ardhi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, Siti Adiyati, Baharudin Narasutan, Ikranegara, Adri Darmadji, Hardi, Abdul Hadi W.M. serta budayawan D.A. Peransi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline