Pembangunan merupakan upaya meningkatkan kapasitas produksi untuk mencapai total output yang lebih besar dari kesejahteraan yang lebih tinggi bagi seluruh rakyat. Pembangunan merupakan tuntutan bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan, pembangunan yang bertujuan untuk menaikkan taraf hidup masyarakat dilakukan dengan pendekatan pembangunan yang menekankan pada kegiatan yang dilakukan secara sektoral misalnya sektor pertanian, perindustrian, pertambangan, kontruksi/bangunan, perdagangan, transportasi, pendidikan, kesehatan, pariwisata dan lainnya (Rahadjo Adisasmita, 2010). Indonesia sudah merdeka selama 75 (tujuh puluh lima) tahun, dan sudah mengalami beragam macam era pemerintahan.
Mulai dari era orde lama (orla), orde baru (orba), hingga pada era setelah reformasi, semenjak saat itu pula pembangunan ekonomi memiliki dinamikanya tersendiri. Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah baik dimasa orde lama hingga saat era setelah reformasi terus digulirkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. .
Tantangan terbesar pada dinamika pembangunan Indonesia dilanda bangsa pada kurun waktu pertengahan tahun 1997. Konidisi krisis yang berujung pada tingginya tingkat inflasi hingga menyentuh level 77,6% serta semakin meroketnya tingkat suku bunga Bank Indonesia (SBI) yang mencapai 70% dalam kurun waktu satu bulan. Krisis tersebut memberi dampak pada posisi hutang negara kita yang semakin membengkak. Data dari Bank Indonesia (2005) posising hutang negara pada tahun 1996 mencapai US$ 110.171 juta sedangkan pada tahun 2004 telah mencapai US$ 137.024 juta (pada posisi nilai kurs yang berbeda untuk tahun 1996 dan 2004). Hambatan tersebut berdampak pada pembangunan infrastruktur di Indonesia yang stagnan.
Infrastruktur pada suatu Negara memiliki peranan yang penting dalam hal pertumbuhan ekonominya. Infrastruktur yang dimaksud diantaranya adalah jalan, jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, dan udara, infrakstur energi listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan gas yang dibutuhkan guna mendukung operasional transportasi, industri dan rumah tangga.
Fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, pasar, kantor polisi, serta fasilitas air yang meliputi air bersih, penanganan limbah, DAM, irigasi, dan pengaturan banjir juga sangat dibutuhkan demi mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat suatu negara. Sama halnya juga dengan ketersediaan dan peningkatan jaringan telekomunikasi juga akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan komunikasi yang baik. Terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 berdampak pada kondisi infrastruktur di Indonesia, dimana menjadikannya sangat buruk. Banyak proyek-proyek infrastruktur baik yang didanai oleh swasta maupun dari APBD ditangguhkan, tetapi setelah krisis, pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur berkurang drastis.
Terdapat masalah pada pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia yang jumlah investasinya masih kurang memadai, penghalang pada pembiayaan ini berasal dari bagaimana sinkronisasi penawaran pembiayaan dari para investor dengan proyek yang dianggap layak untuk dibiayai dengan investasi mereka. Pembiayaan dari private investor diperlukan karena berdasarkan data keuangan proyek pembangunan infrastruktur menunjukkan bahwa terdapat financial gap pada dana yang disediakan oleh pemerintah dengan total biaya yang diperlukan untuk proyek pembangunan, dana yang dimiliki pemerintah Indonesia untuk mendanai pembangunan infrastuktur dengan menggunakan dana publik dari negara sangat terbatas.
Bappenas memproyeksikan dana sebesar Rp 5.452 Trillun guna mencapai target-target pembangunan infrastruktur yang ditetapkan dalam RPJM Nasional tahun 2015-2019. Dari keseluruhan dana yang dibutuhkan tersebut, pemerintah pusat dan daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp 1.131 Trilliun. Hal ini berarti masih terdapat selisih pendanaan (financing gap) sebesar Rp 4.321 Triliun yang pemenuhannya dapat dicapai melalui pendanaan alternatif seperti Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership), dan dengan sumber pendanaan alternativ lain berupa dana dari perbankan, pasar modal, dll.
Public Private Partnership kemudian disingkat PPP menurut William J. Parente merupakan perjanjian atau kontrak, antara penanggung jawab publik (pemerintah) dengan pihak swasta, dimana yang pertama, pihak swasta menjalankan fungsi pemerintah (penyediaan barang/jasa) untuk jangka waktu tertentu. Yang kedua, pihak swasta menerima kompensasi menjalankan fungsi tersebut, secara langsung atau tidak langsung.
Yang ketiga, pihak swasta bertanggung jawab atas resiko yang timbul dari pelaksanaan fungsi dan, fasilitas publik, tanah atau sumber daya lainnya dapat dialihkan atau disediakan pada sektor privat. Dari definisi yang ada diatas, maka PPP merupakan kemitraan Pemerintah -- Swasta (KPS) yang melibatkan investasi yang besar/padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.
Proyek pemerintah yang pernah dilaksanakan dengan menggunakan skema pembiayaan PPP salah satunya adalah pembangunan stadion sepakbola bertaraf internasional di Tanjung Priok, Jakarta Utara senilai Rp 4,5 trilliun pada tahun 2018. Proyek tersebut dilaksanakan guna mempersiapkan Piala Dunia pada tahun 2034 apabila Indonesia terpilih menjadi tuan rumah dalam ajang sepakbola bergengsi tersebut. Namun, hingga akhir penghujung 2018, proyek tersebut hanya berujung wacana saja.
Contoh lainnya, ialah pembangunan bandara Komodo Labuan Bajo pada Tahun 2019 yang merupakan proyek pertama dalam bentuk banda yang menggunakan skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) atau PPP/ proyek tersebut dimenangkan oleh investor asing asal Singapura yakni konsorsium PT Cardig Aero Services Tbk, Changi Airport International Pte Ltd, dan Changi Airports Mena Pte Ltd. Bentuk kerjasama proyek yang dijalin antara pemerintah dan badan usaha dalam proyek Bandara Komodo ini adalah DBOFMT (Design-Build-Finance-Operate-Maintain-Transfer) dengan total investa mencapai Rp 1,2 trilliun dan masa konsesi 25 tahun.