Lihat ke Halaman Asli

Albertus Bhego Pasa

Mahasiswa Magister Akuntansi Univ. Mercubuana

TB1 Prof. Dr. Apollo: "Tantangan Perpajakan Indonesia di Era Revolusi 4.0 "

Diperbarui: 21 November 2021   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Dunia sekarang ini termasuk Indonesia sedang menghadapi tantangan baru peradaban seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, dan kecerdasan buatan (artificila inteligence) menandai hadirnya era digital baru, yang dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0.

Revolusi digital ini tidak hanya mengubah pola perilaku manusia, tetapi secara signifikan juga mengubah cara fundamental berbisnis zaman sekarang. Disrupsi yang terjadi tidak hanya membuka peluang ekonomi yang semakin besar, tetapi juga berpotensi membawa ancaman jika tidak dikelolah dengan benar.

Word Economic Forum (WEF) pada tahun 2016 memperkirakan digitalisasi secara global dan menghilangkan sekitar 2 juta sampai dengan 2 miliar lapangan pekerjaan tahun 2030, hal ini karena globalisasi digital membuka peluang bisnis dan memunculkan jenis pekerjaan baru terkait dengan pengolahan mesin, data. logistik dan pekerjaan seni. Bagi dunia usaha, revolusi digital akan menerobos jalur pemasaran tradisional dengan memanfaatkan luas dunia yang semakin tak terbatas. Disisi lain globalisasi digital memberikan segudang akses informasi yang dapat membingungkan atau bahkan menyesatkan.

Perencanaan adalah kuncinya, dengan memahami pergesaran, peran, dan efek yang diciptakan oleh industri 4.0, pelaku usaha dapat merancang strategi bisnis yang sesuai dengan dinamika global yang terjadi,seperti memperluas akses pasar, membuat produk baru, atau menawarkan nilai tambah kepada konsumen.

Dalam konteks globalisasi, kita tidak hanya berbicara mengenai potensi keuntungan dan biaya, tetapi juga tentang konsekuensi bagi bidang perpajakan yang akan timbul dan apa yang harus dilakukan suatu negara, dalam hal ini Indonesia untuk diantisipasi.

Artinya ketika otoritas tidak mampu mengikuti  perkembangan trend digital, negara kita akan dirugikan oleh resiko kebocoran penerimaan yang semakin besar. Hal ini menjadi tantangan serius bagi regulator mengingat regulasi perpajakan yang berlaku saat ini belum mempertimbangkan efek dari revolusi digital. Alhasil produk hukum perpajakan yang dihasilkan menjadi cela kecurangan bagi wajib pajak yang menyalahgunakn teknologi dan regulasi.

Teknologi dalam reformasi perpajakan sebenarnya sudah disadari oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), diawali melalui New Payment Control System (NPCS) tahun 1994 yang merupakan sistem pengendalian pembayaran pajak, Sistem Informasi Perpajakan (SIP), merupakan sistem monitoring kepatuhan wajib pajak, selanjutnya  diupdate melalui pengembangan program aplikasi perpajakan seperti : Monitoring Pelaporan dan Pembayaran Pajak (MP3), e-registration (e-reg), Pelaporan SPT Online (e-filling) , Sistem Informasi Geografis (SIG), Sistem Informasi DJP  (menggantikan SIP) dan terakhir tahun 2016 menggunakan teknologi informasi Geo-Tagging yang merupakan sistem pemetaan  wajib pajak.

Namun pengembangan infrastruktur information dan teknologi (IT) yang dilakukan oleh DJP masih terbilang sangat lambat  jika dibandingkan  dengan perkembangan teknologi digital  dan hasilnyapun  belum banyak terlihat, baik dari sisi penerimaan negara maupun perluasan basis pajak. Otoritas pajak diharapkan lebih hati -- hati dalam menganalisis model bisnis dan pola masyarakat yang berubah, serta dampaknya terhadap perpajakan dengan bergerak cepat selangkah atau bahkan  tiga langka di depan wajib pajak dengan merancang sistem perpajakan yang lebih adaptif dan solutif dalam merespon dinamika perpajakan yang berkembang serta mengubah paradigma pelayanan terhadap wajib pajak, dari yang sifatnya memaksa menjadi mengajak.

Revolusi industri 4.0 menjadi teguran keras bagi otoritas pajak untuk meninggalkan cara -- cara lama yang konvensional menuju sistem operasional dan pelayanan yang terkoneksi dalam platform  atau aplikasi digital yang menimimalkan interaksi virual yang lebih intens, dengan memastikan wajib pajak menjalakan kewajibannya secara benar, taat dan patuh terhadap undang -- undang dan ketentuan yang berlaku.

Keberhasilan proses transformasi kebijakan suatu negara sangat tergantung dari penciptaan aturan -- aturan dan norma -- norma etika yanag mampu meningkatkan kepercayaan publik. Dalam lingkup perpajakan, peralihan system dari konvensional menuju digital harus dibarengi dengan penyiapan regulasi yang bisa memenangkan dan menenangkan semua pihak.

Melalui kasus -- kasus ketiadaan regulasi yang bisa menjadi dasar pemajakan transaksi online menciptakan sengketa antara otoritas pajak di banyak negara dan perusahaan -- perusahaan raksasa teknologi dunia seperti: Google, Yahoo, dan Facebook  termasuk Indonesia Hal ini terjadi karena tidak adanya paying hukum yang tegas untuk bisa memajaki perusahaan Over the TOP (OTT) menjadi pembelajaran yang sangat penting bagi negara -- negara di dunia temasuk pemerintahan Indonesia untuk merancang regulasi yang fleksibel menghadapi perkembangan zaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline