Lihat ke Halaman Asli

Keritik atau Fitnah? Menakar Batas Kebebasan Berpendapat dalam Kasus Penghinaan Presiden dan Keluarganya

Diperbarui: 4 September 2024   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Presiden bersama keluarga(TribunNews.com)

(Aven Kaidu). Roma, 4 September 2024.


Kebebasan berpendapat adalah salah satu hak fundamental yang dijamin dalam konstitusi negara demokrasi, termasuk Indonesia. Hak ini memberikan setiap warga negara ruang untuk mengungkapkan pendapat, menyampaikan kritik, dan bahkan menentang kebijakan pemerintah. Namun, dalam era digital saat ini, terutama melalui media sosial, kebebasan ini sering kali disalahgunakan. Banyak yang tidak lagi membedakan antara kritik yang sah dengan fitnah atau penghinaan. Salah satu contoh yang menonjol adalah kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dan keluarganya, yang semakin marak terjadi di berbagai platform media sosial. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: Di mana batas antara kritik yang bertanggung jawab dan fitnah yang merusak?

Dalam sejarah pemikiran, kritik dan fitnah telah lama menjadi subjek diskusi filsuf besar. Immanuel Kant, misalnya, berbicara tentang pentingnya kebebasan berpendapat dalam masyarakat sebagai fondasi dari pencerahan dan perkembangan moral manusia. Dalam esainya yang terkenal, What is Enlightenment? (1784), Kant menekankan bahwa "kebebasan untuk menggunakan nalar secara publik dalam semua urusan" adalah esensial bagi kemajuan umat manusia. Namun, Kant juga memperingatkan bahwa kebebasan ini harus digunakan dengan tanggung jawab moral yang tinggi. Kritik, menurut Kant, seharusnya berdasarkan nalar dan fakta yang objektif, bukan didorong oleh niat jahat atau keinginan untuk merusak.

Di sisi lain, fitnah adalah bentuk komunikasi yang secara sengaja merusak reputasi seseorang melalui penyebaran informasi yang tidak benar. Aristoteles, dalam Rhetoric (350 SM), menegaskan bahwa "fitnah adalah ekspresi kebencian yang muncul dari keinginan untuk menyebabkan penderitaan." Bagi Aristoteles, fitnah adalah kebohongan yang disebarkan dengan maksud untuk mengganggu ketertiban sosial dan moral masyarakat. Dalam konteks modern, penyebaran fitnah melalui media sosial dapat berdampak destruktif, merusak reputasi individu, memecah belah masyarakat, dan mengganggu stabilitas politik.

Media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi. Platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram memungkinkan siapa saja untuk mengungkapkan pendapatnya secara langsung kepada audiens yang luas. Di satu sisi, ini adalah perkembangan yang positif karena membuka ruang bagi partisipasi publik yang lebih luas. Namun, di sisi lain, media sosial juga menciptakan tantangan baru, terutama ketika kebebasan berpendapat ini tidak dibarengi dengan tanggung jawab yang memadai.

Di Indonesia, media sosial sering kali menjadi arena bagi ekspresi kebencian dan penyebaran fitnah, terutama terhadap figur publik seperti Presiden Joko Widodo. Sejak awal masa jabatannya, Jokowi telah menjadi sasaran berbagai tuduhan yang tidak berdasar, mulai dari isu tentang asal-usulnya, ijaza palsu hingga tuduhan keterlibatan keluarganya dalam berbagai kegiatan yang tidak etis. Misalnya, tuduhan mengenai latar belakang etnis atau kepercayaan Presiden yang sering kali tidak memiliki dasar fakta. Hal ini tidak hanya menyerang Presiden sebagai individu, tetapi juga merusak citra dan wibawa institusi kepresidenan.

Tentu saja, sebagai pemimpin negara, Presiden harus siap menerima kritik. Namun, kritik yang sehat adalah kritik yang didasarkan pada analisis yang objektif dan bertujuan untuk memperbaiki, bukan untuk menghancurkan. Sayangnya, banyak netizen yang tampaknya tidak memahami perbedaan ini. Mereka sering kali menyamarkan serangan pribadi sebagai kritik, yang pada akhirnya tidak memberikan kontribusi positif apa pun bagi demokrasi, tetapi justru memicu polarisasi dan perpecahan di masyarakat.

Dalam konteks hukum Indonesia, perbedaan antara kritik dan fitnah diatur dalam berbagai perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) UU ITE, misalnya, mengatur tentang larangan mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Ketentuan ini sering kali menjadi dasar bagi penindakan terhadap pelaku penghinaan atau fitnah di media sosial. Namun, penerapan UU ITE juga sering kali menjadi kontroversi, terutama ketika dianggap digunakan untuk membungkam kritik yang sah.

Di sinilah kita perlu memahami pentingnya membedakan antara kritik yang bertujuan untuk memperbaiki dan fitnah yang hanya bertujuan untuk merusak. Kritik yang sehat adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang harus dihargai dan dilindungi. Namun, ketika kritik tersebut berubah menjadi serangan pribadi yang tidak berdasar, maka kita tidak lagi berbicara tentang kebebasan berpendapat, melainkan tentang pelanggaran etika dan hukum yang dapat merusak tatanan sosial.

John Stuart Mill, dalam bukunya On Liberty (1859), menekankan pentingnya kebebasan berekspresi sebagai sarana untuk mencari kebenaran. Namun, Mill juga mengingatkan bahwa kebebasan ini harus dibatasi ketika mulai merugikan orang lain. Dalam konteks ini, penghinaan dan fitnah terhadap Presiden dan keluarganya jelas melampaui batas kebebasan berekspresi yang diadvokasi oleh Mill. Ini adalah tindakan yang tidak hanya merugikan individu yang menjadi sasaran, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline