Lihat ke Halaman Asli

Albert Fidelio Rustanto

Pelajar Kolese Kanisius Jakarta

Gen Z dan Gemuruh Derasnya Dunia Digital

Diperbarui: 9 November 2024   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gemuruh Derasnya Dunia Digital

Generasi Z, yang tumbuh di tengah riuhnya dunia digital, kini menghadapi tantangan yang tak terduga. Dalam setiap detik kehidupan mereka, layar ponsel menjadi jendela dunia, namun di balik kemudahan itu, tersimpan beban yang berat. Di era di mana informasi mengalir deras dan interaksi sosial berlangsung tanpa henti, kesehatan mental mereka mulai menjadi sorotan.

Belum genap satu dekade sejak mereka memasuki fase remaja, tetapi kisah kelam tentang kesehatan mental sudah mencuat ke permukaan. Bagaimana tidak, saat mereka berjuang untuk menemukan jati diri ditengah perbandingan yang terus-menerus dengan kehidupan orang lain, banyak dari mereka merasakan tekanan emosional yang luar biasa. Harapan untuk selalu tampil sempurna di media sosial, ditambah dengan tuntutan akademis dan sosial yang tinggi, menciptakan lingkungan yang rentan bagi kesehatan mental mereka.

Ketika membandingkan kesehatan mental Gen Z dengan generasi sebelumnya, terlihat perbedaan yang mencolok. Generasi X dan Y mungkin juga menghadapi tantangan mental, tetapi mereka tidak mengalami eksposur yang sama terhadap media sosial dan tekanan online. Sementara Gen X tumbuh di era di mana komunikasi lebih bersifat tatap muka dan informasi tidak secepat sekarang, Gen Z harus berurusan dengan fenomena seperti cyberbullying, perbandingan sosial yang terus-menerus, dan ekspektasi untuk selalu "terhubung." Hal ini menciptakan lingkungan yang dapat memicu stres dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Fenomena 'Fear Of Missing Out' 

Fenomena 'FOMO' (Fear of Missing Out) menjadi salah satu dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental Gen Z. Banyak dari mereka merasa tertekan untuk selalu mengikuti tren terbaru atau berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang ditampilkan oleh teman-teman mereka di media sosial. Ketika melihat teman-teman berbagi momen bahagia---seperti pesta ulang tahun atau liburan---muncul perasaan cemas dan khawatir jika mereka tidak diundang atau jika hidup mereka tampak kurang menarik dibandingkan dengan orang lain. 

Bukan takut karena sama, tetapi takut jika berbeda

Seorang remaja mungkin merasa cemas jika tidak diundang ke acara tertentu atau jika foto-foto liburan teman-temannya membuatnya merasa kurang berharga. Ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat menciptakan standar yang tidak realistis dan menyebabkan perasaan rendah diri. Akibatnya, banyak dari mereka terjebak dalam siklus perbandingan yang merusak, mengabaikan kebahagiaan dan pencapaian pribadi demi mengejar pengakuan dan penerimaan dari orang lain.


Keterlambatan yang Memakan Korban

Krisis kesehatan mental di kalangan Gen Z tersaji dalam laporan mengenai tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja. Banyak remaja mengalami depresi berat akibat tekanan akademis dan sosial. Di beberapa sekolah, kasus siswa yang mengalami gangguan kecemasan meningkat drastis. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan lingkungan sosial perlu lebih peka terhadap kebutuhan mental siswa agar mereka dapat berkembang dengan baik tanpa beban psikologis yang berlebihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline