1. Berlayar dalam Ingatan Sejarah
Sejarah bukan sekadar kisah masa lalu yang teronggok dalam buku tua dan koran lawas berdebu. Ia adalah suara yang terus bergema di dada bangsa.
Itulah yang saya sadari saat berkesempatan menjadi kurator buku dan koran tua di Pesantren Tebuireng. Di bawah mentoring langsung Gus Riza, cucu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, saya semakin mafhum bahwa jejak sejarah harus terus dirawat.
Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari bukan hanya pendiri Pesantren Tebuireng, tetapi juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pahlawan nasional Republik Indonesia.
Peran beliau dalam pendidikan dan perjuangan melawan kolonialisme begitu besar. Meninggalkan warisan yang hingga kini masih menginspirasi.
Salah satu kisah yang terus memantik rasa ingin tahu saya adalah perjuangan Sunan Gunung Jati.
Tokoh ulama sekaligus pejuang yang bukan hanya fasih berdakwah tetapi juga lihai dalam strategi perang. Dan dalam kisahnya, ada satu nama yang kerap terabaikan: Pulau Tidung. Siapa sangka, pulau yang kini identik dengan wisata bahari itu dulunya adalah bagian dari strategi militer cerdik seorang wali.
2. Dua Ribu Tentara dan Gempuran di Selat Sunda
Adalah tahun yang genting. Portugis mulai memperkokoh pengaruhnya di Nusantara, menebar ancaman di berbagai pesisir. Sunan Gunung Jati, yang memahami betul bahaya itu, tak tinggal diam.
Mengerahkan 2.000 tentara menuju Selat Sunda. Adipati Banten, orang kepercayaannya, diberi mandat untuk memimpin serangan darat. Sementara armada laut disiapkan dengan penuh perhitungan.
Adipati berhasil menghimpun prajurit dari berbagai daerah kala itu, termasuk orang-orang Bugis, Palembang, Aceh, hingga Malaka. Mereka bersatu dalam barisan perlawanan yang kokoh dan terorganisir.
Sunan Gunung Jati berorasi, suaranya membakar semangat para prajurit: