Kisah Dear Gibran, sebuah surat terbuka bernuansa sastra ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Dari fakultas dan alam sastra
Dear Gibran terhormat, ini hanya tulisan biasa seorang dosen atau penulis biasa. Kebiasaan sehari-harinya hanya menulis dan mengajar sebagai dosen tamu di fakultas sastra.
Surat ini tentang nurani yang terusik dan pendekatannya sangat sastrawi. Tentu hanya mengedepankan sebuah keindahan nasihat sebagai anak bangsa tanpa harus menghakimi. Lagi dan lagi ini fiksi tidak menceritakan fakta dunia nyata.
Tak perlu menghakimi Gibran
Keindahan sastra bak taman bunga yang durinya keindahan itu sendiri, jangan disentuh apatah lagi digenggam erat. Dear Gibran jangan ambil hati bahkan menggenggam duri tulisan ini.
Tak perlu menghakimi tentang fenomena akun fufufafa bak hantu pembicaraan dari jurnalis hingga netizen berbahagia. Surat terbuka ini tidak akan mengurai sang empunya akun tersebut sebagai mana para pakar mengasumsikan sang empunya mengalami gangguan jiwa.
Hanya fiksi dan tak nyata
Gibran di sini sebagai tokoh fiksi dalam kisah sebuah kerajaan dimana sang Raja salah memilih tangan kananan dan para pembantunya. bahkan Gibran ini ingin mencelakakannya.
Mengerikan dari pembunuhan karakter hingga ingin menularkan virus kejiwaan yang diadopsi sang tangan kanan. Lagi dan lagi ini hanya fiksi belaka.
Gibran dan Sang Raja
Ada polemik dimana sang Raja dan pembantunya. Kesemuanya kepentingan kekuasaan melalu politik di sebuah kerajaan dengan luas wilayah paliang luas ke tiga di jagat bumi ini.
Perang dingin pun terjadi secara diam-diam. Sang raja diserang secara sembunyi-sembunyi oleh pembantunya alias sang empunya nama Gibran tersebut.