Lihat ke Halaman Asli

Albar Rahman

Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

"Kepedulian-Kesetiakawanan" Tinjau Ulang Fenomena Tone Deaf

Diperbarui: 30 Agustus 2024   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

galeri pribadi 8/12/22

Sesakali saya ingin menuliskan diary alias pengalaman memorable. Karena belakangan lagi rame pembicaraan di media sosial tentang sebuah pertemanan yang tone deaf. 

Pikiran melihat fenomena menarik ini. Sederhananya tone deaf adalah kawan yang tipenya gak peduliaan sama orang. Spesifiknya tidak punya kepedulian pada perasaan seorang sahabatnya. 

Lebih jauh dan mendalam istilah ini sudah lama menjadi kajian di dunia neurosicience. Artikel ilmiah berjudul, "Tone Deafness: A New Disconnection Syndrome?" menyebutkan bahwa mengidentifikasi nada tuli yang terjadi karena masalah temporal otak. Lalu belakangan istilah ini jadi "mame" sosial untuk orang yang tidak pedulian, kurang sensitif alias hidup tanpa kepekaan empaty layaknya "tuli" dalam arti sindiran. 

Jelas kali ini tidak akan menulis dan menyinggung dunia politik dan alam demokrasi di negeri tercinta ini. Dimana politisinya tidak peduli lagi dengan jeritan rakyatnya. Dia melenggang dengan tarian politik dinastinya misal. 

Kali ini saya mencoba munuliskan sebuah catatan kenangan kala mendaki gunung terakhir yaitu gunung Merbabu dengan savana pemandangan indahnya. 

Lagi dan Lagi Mendaki

Sebagai ingatan tentu menarik diabadikan jadi kenangan. Tepat hapir dua tahun lalu saya dang teman-teman melakukan hobi menyenangkan. Ya, lagi dan lagi mendaki. 

Kisaran 7 atau 8 orang pendakian kala itu kami sebagai tim deal untuk bersama-sama berangkat dari Jogja melewati Magelangga dan menuju kaki gunung Merbabu. 

Sebuah perjalanan kala melakukan pendakian banyak keseruan. Dari tingkah lucu bahkan idiotnya seorang kawan. 

Ada saja tingkah lucunya, seperti bicara dengan artikulasi kata tidak jelas nadanya serius dan kami sekawanan hanya bisa tertawa. Terlihat idiot, gak perlu detail saya jelaskan karena ya begitulah apa adanya saat kami melakukan pendakian kala itu. 

Kesannya seperti bulliying tapi begitulah realitas persahabatan karena begitu dekatnya. Semua bisa jadi tawa walau dari kacamata luar itu semacam caci maki atau hinaan keras. Lagi dan lagi karena dekat. 

Sebuah Perjalanan Lucu atau Menyenangkan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline