Lihat ke Halaman Asli

Albar Rahman

Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Bolak-balik Arus Rasa, "Kisah Sastra yang Mati?" (2)

Diperbarui: 26 April 2023   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Penghujung sore, tidak ditemani sebatang rokok tapi ditemani gadis manis yang terus saja tertawa terbahak. Ledekan puas tentang bahasa Inggrisku yang pas-pasan katanya, "SNI (Standar Ngenglish Indonesah)." sembari terus meledek. 

"Aduh mba puas banget tuh ketawa" aku berujar, maklum bahasa inggrisku belajar hanya dari jurnal-jurnal dan artikel bahasa Inggris. Keluar negri juga hanya ke negara asia mentok Malaysia dan Tiomor Leste. 

Beda dengan gadis manis itu. Liburannya ke Eropa jangan samakan aku yang cukup mengitari lorong-lorong sepi kota jogja adalah liburan termahalku. 

Kembali ke peristiwa tertawa bersama sore itu, suara azan terdengar seketika bak ada tombol on/off kami seketika terdiam menyudahi terbahak-terbahaknya sedari tadi. Spontan saling tatap bukan ajakan ke masjid malah saling senyum tak tentu. Peristiwa receh ini berlangsung syahdu. 

Kemudian bersama bergegas ke masjid kampus. Sehabis menunaikan kewajiban shalat maghrib, kami seolah melupakan diskusi alot tentang matinya dunia sastra. Dia yang mengamini bahwa dunia sastra akan mati sedang aku tidak sepakat sama sekali. 

Mencari warung makan sederhana untuk mengisi perut masing-masing, sembari diskusi sedikit kami mencari kata sepakat akan perdebatan awal kami. Tentang duni sastra tadi.

Aku kaget lagi, seingat, aku pernah menulis dan menampilkan fakta tentang betapa Eropa dan Amerika sudah meninggalkan pusi. Gadis itu menjelaskan dengan baik fakta tersebut. Owh dan ternayata dia mengaku sering mengikuti ulasan dan tulisan sederhanaku itu. 

Aku jelaskan, memang aku pernah menulis demikian. Itu hanya fakta bukan berarti membuat kita putus asa untuk menghidupkan kembali sastra termasuk puisi bukan? 

Lontaran pertanyaan mendasar itu aku juruskan ke gadis tersebut. Dia terdiam sejenak, lagi dan lagi dia keluarkan pertanyaan dengan bahasa bulenya itu, mempertanyakan intinya apa yang harus kita lakukan. 

Aku ceritakan bahwa ada 9 pojok baca di desa dan 1 perpustakaan yang aku pelopori di Ponpes tradisional selalu aku sisipkan buku sastra dalam beragam bentuknya termasuk novel dan buku-buku sejarah. Kedepan aku akan menginisiasi adanya gerakan SantriNyastra, mengajak para santri untuk berpuisi, bedah novel dan beragam acara sastra dikeramaian kota dengan agenda bulan rutin. Tapi entah kapan ini akan dimulai. Semoga saja ada yang mengambil ide ini dan mengeksekusinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline