Berbicara museum dan memori bangsa. Teringat momen dimana kunjungan beberapa tahun lalu dari museum ke museum untuk merawat kekayaan memori sebagai generasi.
Bagaimana tidak museum menurut definisi liarnya adalah tempat ternyaman menyelami memori sebuah bangsa, artefak dan barang berharga dan lain-lain dirawat dengan baik. Spirit merwat ingatan ini artinya begitu kuat.
Untuk itu kenyataan bahwa pengunjung museum di negeri kita memang masih kurang. Pengelolaannya di sana sini masih terdapat kekurangan. Bukan berarti kita berhenti dan menyerah begitu saja.
Bisa kita berkaca pada Jerman dengan Museum Van Gogh nya. Di sana karya sang maestro lukisan abstarak dunia itu dirawat dengan baik bahkan proses tiga dimensinya terus dikembangkan.
Di Indonesia juga sejatinya ada Museum Affandi. Ingatan kolektif tentang Maestro hebat satu ini tergambar jelas di museum yang tepatnya berada di Jogja. Sentuhan seni rupa yang khas tak kalah liar dari Van Gogh milik Jerman. Jika terus dikembangkan sejatinya sentuhan mahal maestro ini akan semakin dikenal dunia dan mewariskan peradaban mahal bagi Indonesia.
Tak gampang memang berbicara soal museum, merawatnya sulit memang. Ini di akui oleh Rusdhy Hoesein dalam Memoarnya sebagai Kurator museum. Uniknya berlatar sebagai seorang dokter ia mendalami sejarah hingga menjadi kurator.
"Penataan fungsi zona di rumah sakit itu serupa (sulitnnya) dengan pentaan zona ruang di museum". Tertera dalam buku "Memoar Rusdhy Hosein".
Teringat. Selain berkunjung ke museum Affandi dan melihat langsung Kartika Affandi yang masih saja memegang bahan baku untuk membuat karya seni rupa.
Saya juga berkesempatan melihat dan mendatangi museum Sandi di kotabaru Jogjakarta beberapa tahun lalu. Kisaran tahun 2017.
Mengetahui akar sejarah bapak sandi Indonesia. Dengan segala kecerdasaannya. Tak hanya menguasai bahasa sandi untuk keaamanan negara. dr. Robiono Kertapati yang berlatar sebagai dokter militer awal karirnya ini juga ternyata menguasai ragam bahasa asing.