Memungkin sebuah konsep islam yang berwajah rahamah (merangkul semua demi kebaikan) sebagai diskursus alias perbincangan hangat. Bisa saja kita ajukan sebagai diskursus untuk menjadi budaya bagi peradaban bangsa. Khusus bagi Indonesia dengan segala keragamanannya sejak dahulu dalam tinjauan historis "rahmahnya" Islam begitu kuat dan membudaya hingga Islam diterima begitu mudahnya.
Sebuah warisan yang tak terlupakan dan menyejarah ialah kearifan para pemangku dakwah yang datang dan lahir silih berganti di Nusantara. Dari berdirinya kerajaan Islam dan mulai masuknya para utusan Turki Utsamani memiliki corak dan warna tersendiri bagi perjalanan sebuah rihlah dakwah dalam bingkai budaya keilmuan yang diwariskan.
Sebuah warisan keilmuan penuh dedikasi dan secara nyata mengimplementasi konsep Rahmatan lil alamin. Sebut saja nusantara dulu memiliki raja alim nan berilmu serta amat bertakwa. Dahulu Kita menjumpai Sultan Babullah misal di Tidore. Penguasa lagi alim dan bertakwa. Sosok raja kuat yang menantag penajahan Portugis kala itu.
Tidak hanya itu kontribusi Wali Songo juga kuat. Adalah para wali utusan kerajaan Islam Turki Utsamani yang dikenal sebagai wali songo datang membawa misi kemaslahatan, tidak hanya membawa risalah Islam melainkan menyejahtrakan semua dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan. Para wali ada yang ahli pertanian, geografi, pemgobata dan lain- lain selain memiliki kedalaman ilmu dan kecakapan menyampaikan ilmu dengan berbagai pendekatan.
Dalam bidang keilmuan dan pendidikan menjadi budaya tersendiri bagi Indonesia dahulu, sebut saja bagaiman di Aceh yang dulu menjadikan proses keilmuan sebagai tradisi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Azyumardi Azra, di Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Ia mendirikan masjid, seperti Masjid Raya Baiturrahman yang megah di Banda Aceh dan beberapa masjid di daerah lain. Dia dan Sultan sebelumnya, Sultan Riyat Syah, mengambil ulama sebagai penasihatnya, antara lain Hamzah al- Fansuri dan Syamsuddin as- Sumatrani.
Tardisi yang dimulai Sultan Iskandar Muda ini kemudian dilanjutkan sultan- sultan berikutnya, sehingga di Aceh banyak terdapat ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam di Nusantara.
Dua ulama terkenal setelah dua ulama yang disebutkan tadi adalah Nurrudin ar- Raniri dan Abdur Rauf as- Singkili Syiah Kuala, yang bertidak sebagai qadi dan mufti kesultanan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani dan masa pemerintahan Sultanah (sultan wanita).
Dalam pendekatan kultur dan budaya warisan keilmuan Islam amat sangat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat nusantara. Para intelektual dan cendikiawan muslim kala itu mampu memadukan budaya dan metode penyampaian risalah Islam tanpa harus berbenturan dengan kearifan lokal masyarakat. Sebut saja di Daerah Istimewa Yogyakarta yang hingga kini masih eksisis dikenal masyarakat dengan istilah sekatenan.
Sebuah gagasan sedari dulu dimasa kesulatana Agung Mataraman para wali menyampaikan risalah syahadat yang dikenal dengan istilah syahadatain. Bukankah ini warisan berharga sebagai bekal pengemban dakwah dan para cerdik cendikia guna mampu memberi warna dalam perjalanan risalah maupun penyampaian risalah Islam dimasa yang akan datang untuk negeri yang kita cinta bersama.