Lihat ke Halaman Asli

Albar Rahman

Editor, Writer and Founder of Books For Santri (Khujjatul Islam Boarding School)

Mahasiswa, Demonstrasi dan Denyut Nadi Demokrasi

Diperbarui: 1 November 2022   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga generasi yang hobi berdiskusi tentang apa saja, sejarah bahkan demokrasi./dokpri

David Held dalam buknya Models of Democracy membeberkan bahwa demokrasi itu memiliki ruang kebebasan absah secara total sangat membebaskan publik terlibat dalamnya. 

Publik berhak masuk dan ikut mengawalnya dari berbagai sudut. Ini artinya proses demokrasi adalah milik siapa saja, terlebih bagi mereka yang memiliki tanggung jawab moril secara intelektual. 

Moril intelektual tersebut ada di pundak yang kita sebut dan kenal Mahasiswa. Ini terdengar atau terbaca sangat berlebihan. Mari kita uraikan pandangan dan landasan penulis. 'Maha' secara harfiah dia memiliki sebuah kuasa bahkan bisa dikatakan tinggi kekuasaan yang melekat padanya. Setelah sematan 'Maha' melekat juga gelar terepelajar, inilah Mahasiswa. 

Jika mengurai sejarah demokrasi. Yang menjadi catatan sejarah apakah negara dengan seruang demokrasi apapun bentuknya, sudah ideal kah. Mencari ideal tentu hampir mustahil untuk dicapai. Dalam proses demokrasi, mahasiswa selalu dikambing hitamkan sebagai makar jika melakukan perlawan pada rezim. 

Demonstrasi berhasil jadi "cap" buruk atau tidak baik bagi mahasiswa yang melakukan aksi di dalamnya. Berbagai tudingang datang. Kelak mahasiswa yang riang demo dan menjadi pejabat negara juga, untuk apa idealis. Ini sebuah framing dan sah saja memiliki pandangan demikian adanya. Sebab realitasnya ada. 

Aksi demo harusnya dimaknai dengan definisi yang lebih luas. Tidak sempit hanya pada aksi di jalanan saja. Menurut hemat penulis bahwa mahasiswa harus memiliki investasi jangka panjang untuk terus berdemo dengan intelektualnya. Merawat nalar intelektualnya dengan terus menyuarakan gagasan bahkan kritiknya jika harus tampil dipermukaan untuk sebuah rezim sekalipun. 

Itulah definisi demo atau sebuah demonstrasi secara luas. Ia lahir dari intelektual sebuah gagasan kritik dari manusia terpelajar. Merupakan denyut nadi demokrasi yang niscaya. 

Goerge Sorensen dalam tulisannya  Democracy and Democratization, mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah bentuk rezim pemerintahan dimana yang berkuasa adalah rakyat dan semua prahara masyarakat secara umum di dalamnya. Intelektual rakyatnya akhirnya jadi denyut nadi demokrasi terpenting harus dijaga dan dirawat bahkan. 

Untuk itu jadilah mahasiswa dengan definisi luasa lalu melihat kerja demokrasi lebih utuh. Ambil peran terbaik dan rawat denyut nadi demokrasi dengan dedikasi intelektual setinggi mungkin. 

Jadilah mahasiswa 'abadi' pada denyut demokrasi. Jangan usaikan kerja intelektual bahkan setelah lulus sekalipun untuk menghidupkan denyut demokrasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline