Menuju hari memperingati gerakan G30S. Banyak perdebatan sana sini bahwa filem dan sejarahnya ada yang berpendapat semua pesanan rezim atau penguasa kala itu pasca pemusnahan PKI di 1965. Ada juga yang mengecam bahwa ini adalah sejarah adanya dan perlu dijaga terus. Demi menjaga ancaman negara dari ideologi manapun.
Saya tidak akan membahas tentang mana sejarah yang benar atau tidak. Melainkan saya akan mengimajinasikan lewat kolom tulisan kali ini tentang bagaimana aliran masa depan tanpa pertikaian hadir lagi di masa mendatang.
Jika HOS Tjokroaminoto menulis tentang Islam dan Sosialisme dengan melihat kondisi dan mengkajinya pada argumen sejarah. Maapkan saya kali ini tidak akan melakukan hal yang sama. Begitupun Bung Karno dengan gagasan Marhainismenya. Saya hanya akan berimajinasi, sekali lagi!
Semisal saya tidak akan membahas komunisme dimana saya memaknai komunisme adalah sebuah ide sekaligus gerakan dengan semangat sosialisme alias membela kaum buruh dan setara dengannya yang tertindas. Di masa depan pasti akan selalu ada pikiran seperti ini berkembang, walau dalam tanda kutip akan usang. Begitupun kapitalisme yang terus kian masa melahirkan "lintah darat". Kelak ini akan usang juga.
Saya tidak akan jatuh cinta lagi dengan ide komunisme yang sudah membantai 30 juta penduduk eropa dan membunuh ulama serta menjembatani pertikaian di Indonesia. Akhirnya saya hanya ingin negri ini punya aliran baru di masa mendatang. Bukan Komunisme, Marxisme, Kapitalisme, Liberalisme atau apapun itu.
Aku berimajinasi liar bahwa kelak dan masa mendatang perlu paham yang bersifat apatis pada politik secara praktik. Menjadi sufi alias berpikir falsafah atau pemikir dalam arti sejati. Perlu lagi Aristotel masa depan dengan aliran manusia pemikir dan menuliskan pikirannya. Aliran itu aku lahirkan dengan sebutan Literaturianisme.
Lagi-lagi ini aliran pandangan bukan agama atau kepercayaan. Ini tentang sebuah anggapan dan matinya aliran lain yang sangat politis dan menjadikan nyawa manusia sebagai tumbal demi kepentingan kekuasaan dengan menunggangi agenda poltik dengan masa dan kuasa yang dimiliki.
Literaturianisme adalah menuliskan pikiran untuk mejunjung perdamaian, siap bertengkar pikiran dengan semua pikiran apapun dari marxisme hingga kapitalisme misal. Tentu akan berbasis pada bacaan panjang bagaimana mencapai sebuah perdamaian. Pikiran bisa saling serang asal tidak membunuh nyawa manusia itu harus dipegang dengan baik.
Merawat buku dan pikiran. Manusia berdiri dengan pikiran. Bukankah ini sebuah keniscayaan?
Akhirnya dengan penuh kesadaran penuh bahwa membaca dan menulis pikiran merdeka adalah kerja literaturianisme. Jadi pemikir bukan jadi manusia tanpa berpikir dan tidak memiliki pikiran. Syahdan yang membedakan manusia dengan binatang adalah pikiran, apa bedanya jika manusia tidak berpikir.