(Youtube: Falcon)
Sebuah kesyukuran bisa berkesempatan menyaksikan karya dari salah satu sutradara terbaik milik negri ini. Ya, Hanung Bramantyo lagi-lagi berani menampilkan organiknya sebuah penuturan dalam filem yang ia sutradarai. "Miracale in Cell No. 7" Filem sentuhan sutradara satu ini berhasil menguras emosi dan empati saya dan mungkin sebagian besar penonton terkuras air matanya.
Yang pasti empati saya sendiri terkuras habis akan cinta dan keadilan. Sobat pena pasti bertanya bagaimana ceritanya?
Melihat Mawar de Jong memainkan peran sebagai Kartika sosok anak yang sangat mencintai bapaknya Dodo Rozak yang dilakoni oleh Vino G. Bastian dan saya melihatnya "geleng-geleng" kepala. Jam terbang bicara menyaksikan aksi seni peran yang dimainkan oleh dua aktris ini.
Sekiranya sobat pena yang sudah menonton pasti memahami arti cinta dari sosok Kartika untuk ayahnya Dodo Rozak. Inilah muara cinta terbesar betapa cinta akan menembus apapun dan sejarah akan mencatat bahwa cinta yang tulus akan abadi.
Refleksi akan cinta yang dalam mampu membawa sosok anak menjadi pahlawan abadi bagi sosok ayahnya. Filem ini begitu reflektif. Bagi sobat pena yang berkenan untuk menonton dan ingin melihat perspektif cinta-'abadinya' sang anak-ayah-keluarga-sahabat secara emosional berhasil disajikan.
Menariknya lagi filem ini diwarnai dengan aksi legendaris alias living legend sosok Indro Warkop (Om Japra) dilengkapi dengan beberapa sosok komedian diantaranya Rigen (Bewok), Indra Jegel (Gepeng), Tora (Zaki), Bryan (Bule) yang hadir mewarnai sisi sebagai kelompok sahabat untuk Kartika dan Ayahnya. Kocak dan menggelitik peran-peran para komedian negri ini memainkan perannya. Dari persahabatan dan kekeluargaan hingga bersama mencari keadilan. Ditambah Deny Sumargo (Pak Hendro) memerankan empati emosional kuat juga hadir Coki Pardede (Pak. Ahmad) lagi-lagi komedi dan mengundang tawa.
Perjalan kartika kecil (Graciela Abigail) hingga dewasa (Mawar de Jong) akhirnya memahami esensi sebuah keadilan. Sebagai penonton saya terbawa pada rona wajah keadilan yang sangat elegan.
Filem ini dapat dikatan sebuah kriritk sosial akan dunia keadilan. Hanung Bramntyo membawa isu sosial yang lebih mendalam, bahwa sejarah lagi-lagi akan memberikan bukti pada keadilan yang sebenarnya. Ini esensi dan arti keadilan yang dapat saya tangkap dari filem ini.
Tentu sebuah karya dalam tanda kutip apapun bentuknya termasuk filem tidak ada yang 'sempurna'. Saya sebagai penonton memiliki catatan tersendiri untuk melihat bahwa industri kita ini perlu diarahkan lebih berani sebagai sarana memetakaan keadaan sosial sesungguhnya yang tengah terjadi. Namun naasnya sang sutradara sudah berani secara elegan dalam upaya pemetaan sosial yang saya maksud.