Lihat ke Halaman Asli

albarian risto gunarto

saya datang saya lihat saya lalui saya tulis

Ngobrol bersama Mbah Jen, Seorang Transformen (Transmigran Menjadi Pengamen)

Diperbarui: 26 Juli 2022   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Jen, dengan ukulele kesayangannya (dok.pribadi)

Siang terik ini saya mampir di sebuah warung, didepan sebuah perumahan yang sangat sederhana. Dibawah pohon talok yang rindang, dengan dinding anyaman bambu, saya memesan segelas kopi hitam.

Saya duduk di kursi yang juga terbuat dari bambu. Menyapa beberapa teman yang sudah duluan ngopi disitu. Belum lama saya duduk, di kursi sebelah, seorang kakek-kakek tampak berdiri mencari uang hasil ngamennya yang terjatuh tercecer dilantai.

Saya dan seorang teman ikut membantu memungut ketika tampak dia menyerah mencari karena keterbatasan pandangan matanya. Saya menemukan 500 rupiah, teman saya menemukan 500 rupiah. Dan beliau sangat berterimakasih ketika saya mengembalikan uangnya.

Sangat berarti uang seribu rupiah yang terjatuh. Sehingga dia berusaha mengambilnya kembali. Walaupun harus "grayah-grayah" ketika mengambil tadi.

Saya kemudian duduk disampingnya sebuah ukulele tua menjadikan kami berjarak.

"matursuwun sanget nggih mas"ucapnya kepada kami berdua. "ngeten niki kulo eman nek ical, lha sing maringi kulo pun berusaha, mosok kulo icalne" ucapnya. Menegaskan bahwa uang tersebut sangat berarti baginya. Namun bukan nominalnya, lebih untuk menghargai pemberian orang lain.

Saya mendapatkan pelajaran tersirat dari kakek, hargailah pemberian orang lain entah besar atau kecil, sedikit atau banyak, ikhlas atau tidak ikhlas.

"mboten ngeses mas, sampun sepuluh tahun mandeg" jawabnya, ketika saya tawarkan rokok. Kemudian dia menjelaskan kenapa berhenti merokok, ternyata karena ketika mengamen sering terbatuk-batuk sehingga oleh para pendengarnya diminta berhenti merokok.

Transmigran yang Bertransformasi

Lelaki itu menyebut dirinya Mbah Jen, seorang duda karena cerai mati berusia 83 Tahun. Keseharian hidup bersama anak lelakinya yang menjadi satpam di sebuah pertokoan, di kota kelahiran Gus Dur ini.

"tahun 80-an kulo tumut transmigrasi teng aceh" ujarnya lagi. "nandur karet kathah"jelasnya lagi. "lho kok wangsul enten nopo?" tanya saya. "lha teng mriko usum GAM, bingung, nek mboten tumut kulo ditembak GAM, tapi nek tumut kulo dibedhil tentara" menjawab pertanyaan saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline