Lihat ke Halaman Asli

Ning

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Orang seawam apapun tahu jika pertengahan bulan Juli adalah saat sang raja siang menunjukkan keperkasaannya. Ia begitu mengerikan saat memanggang kernet-kernet bus itu hingga kulitnya menjadi hitam legam. Siang itu, kalau terminal Kampung Rambutan adalah sebuah sup diatas tungku, maka ia sudah mendidih dan siap untuk disantap. Debu-debu beterbangan, dan bus-bus antar kota meraum-raum seraya mengeluarkan asap hitam. Bus-bus itu terlihat seperti cumi-cumi yang sedang mengeluarkan tinta untuk menghindari musuhnya.

Bus yang aku tumpangi merayap lamban. Aku duduk termangu meratapi nasib. Menerawang jejak-jejak yang sempat aku tinggalkan. Dan anganku menari diantara kenangan-kenangan pahit yang menyayat hati. Kalau saja aku bisa membelah dan mengeluarkan isi hatiku. Ingin rasanya aku membuangnya ke jalan agar segala memar dan luka ini tidak semakin menjadi-jadi. Namun apa dayaku, luka ini sudah teramat parah, dan hatikupun sudah membusuk karena terlalu lama digerogoti. Membuang dan melihatnya dilindas oleh truk-truk pembawa besi baja boleh jadi adalah pilihan terbaik.

Perlahan bus meninggalkan terminal. Kernet-kernet bus dan para calo di terminal terlihat semakin menjauh. Mereka masih saja berteriak-teriak. Walaupun aku tidak bisa mendengar—karena sudah terlalu jauh—namun aku bisa merasakan kencangnya teriakan dari mimik dan gurat kengototan di wajah mereka. Aku tak heran kalau di terminal Kampung Rambutan calo-calo sering memaksa dan menaruh harga tiket teramat tinggi. Bagiku, para calo tak ubahnya segerombolan serigala pengais sisa-sisa uang karena sempitnya lapangan pekerjaan di negeri ini. Ya, aku tahu karena sebelum bekerja di sebuah restoran sebagai tukang cuci piring, Aku sempat menggelandang selama setahun di terminal.

Kulihat kondektur mulai berkeliling. Ia beringsut diantara sela-sela kursi sambil memeriksa tiket. Tak lama ia sampai di dekatku. “Turun mana Mas?”, tanyanya setelah berada di sampingku. “Pekalongan”, jawabku. “Sampeyan pinter nggak tertipu calo”, ujarnya. Dari logatnya, aku bisa menebak kalau ia berasal dari daerah sekitar Tegal. Kondektur itu pasti melihat angka nominal tiket yang aku beli. Pada hari biasa, tarif Jakarta-Pekalongan tak lebih dari Rp. 50.000. Tiket itu aku beli dengan harga Rp 48.000. Umumnya, seorang calo di Terminal Rambutan bisa menaikkanya hingga Rp.90.000 rupiah. Dan bagi orang yang sedang tidak banyak uang sepertiku, membeli tiket yang sudah dinaikkan sedemikian tinggi adalah perampokan di siang bolong. “Pekalongane medhun ngendi?”, lanjut kondektur itu. “Perapatan Grogolan”, ujarku menyebut salah satu perempatan di daerah asalku Pekalongan.

Perjalanan masih jauh. Bus baru memasuki jalan tol. Kulihat matahari mulai condong ke barat dan memancarkan sinar kemerah-merahan. Hari menjelang senja, mungkin jam 3 sore. Aku memang tidak sedang membawa jam. Satu-satunya telepon seluler yang sering aku pakai untuk melihat waktu sudah aku jadikan jaminan untuk meminjam uang. Padahal, baru kemarin telepon itu aku pakai untuk menerima telpon dari rumah yang memberitahukan kalau Ning akan menikah. Kalau dipikir-pikir, nelangsa betul aku ini. Bahkan untuk menghadiri pernikahan orang yang dicintai saja harus menggadaikan handphone.

Teganya kau Ning. Kau sayat dan memarkan hati ini yang yang tinggal separuh ini—karena separuhnya lagi sudah kuberikan padamu. Kau remukkan segala harapan dan cita-cita kita. Buat apa aku jauh-jauh pergi ke Jakarta kalau tidak untuk pernikahan kita? Buat apa siang dan malam aku membanting tulang memeras keringat kalau tidak untuk meresmikan cinta kita? Buat apa Ning?. Aku penasaran, seperti apa muka calon suamimu Ning. Seperti apa pilihan hatimu. Dan di pernikahanmu nanti aku akan bilang pada calon suamimu itu, “Aku titipkan kekasihku tercinta ini kepadamu, jangan sekali-kali kau menyakitinya”.

Malam menjelang. Langit mulai gelap. Aku sudah hampir terlelap. Bus yang aku tumpangi sudah sampai di Brebes. Sekitar tiga jam lagi aku sampai di Pekalongan, tempat asalku. Segala memar ini masih terasa. Bagimana mungkin memar ini bisa hilang, satu-satunya orang yang menyayangiku dengan gamblang menyakiti, tidak hanya aku, namun juga ibu. Sudah seantero desa tahu kalau Ning adalah calon istriku. Sudah seluruh pelosok desa tahu pula bahwa Ning adalah calon kakak Ipar Rubiah, adik perempuanku satu-satunya. Oleh ibuku, Ning sudah dianggap seperti anak sendiri. Asal tahu saja, Ning sudah yatim piatu sejak kecil. Ia dirawat oleh pamannya yang bernama Slamet—seorang duda yang dulu menikahi adik Ibu Ning.

Slamet adalah seorang guru SD yang berasal dari Cangkringan, Yogyakarta. Ia datang ke kampungku saat era SD Inpres di pertengahan 1970-an merebak. Ayah, Ibu, dan Bu Lik-nya Ning meninggal saat kebakaran melanda Pasar Induk Kabupaten pada awal tahun 1990. Kedua orangtua Ning adalah pedagang di pasar itu. Sedangkan Bu Lik-nya membantu mereka berdua berjualan.. Bagi Lik Slamet—begitu biasanya aku memanggil lelaki paruh baya itu—Ning adalah satu-satunya ember untuk menumpahkan kasih sayangnya kepada seorang anak. Terlebih, Lik Slamet dan Bu Lik-nya Ning belum sempat memiliki anak sampai akhirnya meninggal.

Tengah malam. Kira-kira Jam setengah satu dinihari. Aku tiba di Pekalongan. Kepala serasa mau pecah dan leher serasa mau putus. Aku capai, ngantuk dan pusing. Walau perjalanan kali ini tidak terlalu lama, namun entah kenapa seluruh badanku terasa pegal-pegal. Aku turun di Perempatan Grogolan dan naik ojek ke Pandansari, desa tempat asalku. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit aku sudah tiba di rumah. Malam itu kampung sepi. Hanya rumah Lik Slamet yang terlihat masih terang benderang. Di halaman rumah itu nampak beberapa soundsystem yang tersusun rapi. Tak kurang tenda beserta janur kuning menghiasi rumah yang pada hari-hari biasa terlihat sepi. Aku sampai di depan rumahku dan mengetok pintu. Aku pulang.

* * *

Matahari keluar dari peraduannya. Ia mengintip malu di ufuk timur. Burung-burung berkicau. Namun tak seperti biasanya, kicau burung kali ini seperti alunan lagu sendu yang menasbihkan remuknya hatiku. Aku duduk berdampingan dengan Rubiah dan Ibuku di sela-sela hadirin. Kulihat Ning dari kejauhan. Ia nampak pucat. Seakan ada yang menggelayut di hatinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline